Jumat, 01 April 2011

Nurcholis Madjid

Sosok dan Pemikiran Nurcholis Madjid
Biografi
Nurcholish Madjid, lahir di Jombang, 17 Maret 1939 dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorog, IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta mendapat gelar Sarjana Sastra Arab tahun 1968, dan Universitas Chicago, Illinois, AS mendapat gelar Ph.D., Islamic Thought pada tahun 1984.Nurcholis Madjid aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Ketua Umum PB HMI, 1966-1969 dan 1969-1971,dia merupakan Presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara).Tahun 1972-1976 Nurcholis Madjid Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-sekarang peneliti pada LIPI, 1978-sekarang guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri, 1990.
Riwayat Kematian
Ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, Nurcholis Madjid menghembuskan nafas terakhir dengan wajah damai setelah melafalkan nama Allah pada Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan. Cendekiawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, itu meninggal akibat penyakit hati yang dideritanya. Cak Nur, panggilan akrabnya, mengembuskan napas terakhir di hadapan istrinya Omi Komariah, putrinya Nadia Madjid, putranya Ahmad Mikail, menantunya David Bychkon, sahabatnya Utomo Danandjaja, sekretarisnya Rahmat Hidayat, stafnya Nizar, keponakan dan adiknya. Cak Nur dirawat di RS Pondok Indah mulai 15 Agustus karena mengalami gangguan pada pencernaan. Pada 23 Juli 2004 dia menjalani operasi transplantasi hati di RS Taiping, Provinsi Guangdong, China.Jenazah Rektor Universitas Paramadina itu disemayamkan di Auditorium Universitas Paramadina di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Kemudian jenazah penerima Bintang Mahaputra Utama itu diberangkatkan dari Universitas Paramadina setelah upacara penyerahan jenazah dari keluarga kepada negara yang dipimpin Menteri Agama Maftuh Basyuni, untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Selasa (30/8) pukul 10.00 WIB. Sementara, acara pemakaman secara kenegaraan di TMP Kalibata dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab.Sejumlah tokoh datang melayat dan melakukan shalat jenazah. Di antaranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, Syafi’i Ma’arif, Siswono Yudo Husodo, Rosyad Sholeh, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Azyumardi Azra, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua Panitia Ad Hoc II DPD Sarwono Kusumatmadja, Wakil Ketua DPD Irman Gusman, Agung Laksono.Juga melayat Pendeta Nathan Setiabudi, Kwik Kian Gie, dan banyak lagi. Sementara pernyataan dukacita mengalir antara lain dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin),
Presidium Pusat Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia, keluarga besar Solidaritas Tanpa Batas (Solidamor), dan lain-lain.Seluruh bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh yang menjadi ikon pemikiran pembaruan dan gerakan Islam di negeri ini. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Dia menganggap penting pluralisme, karena ia meyakini bahwa pluralisme adalah bagian dari ketentuan Tuhan yang tak terelakkan.Dia mengembangkan pemikiran mengenai pluralisme dalam bingkai civil society, demokrasi, dan peradaban. Menurutnya, jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaban itu, termasuk di dalamnya, penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manusia.

Cendekiawan Muslim Milik Bangsa

Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, itu merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia cendekiawan muslim milik bangsa.Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.Namanya sempat mencuat sebagai salah seorang kandidat calon presiden Pemilu 2004. Namun akhirnya ia mengundurkan diri proses pencalonan melalui Konvensi Partai Golkar. Belakangan dia sakit dan sempat beberapa lama dirawat di Singapura.Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiya.Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa.Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi. Sahabat Cak Nur, Utomo Dananjaya, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina mengatakan, “Dengan nuansa politik pada waktu itu, keluarga Cak Nur biasa mengobrol, mendengar, bicara soal-soal politik.” Utomo kerap dituding sebagai salah seorang “kompor” yang mendorong Nurcholish ke pentas politik. Atas tudingan itu ia berseloroh, “Ah tidak, politik sudah ada dalam pemikiran Cak Nur sejak pemilu tahun 1955. Generasi saya dan dia sudah cukup dewasa untuk memahami, membaca, dan melihat politik.” Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu. Apalagi orang tua santri Kulliyatul Mualimin al-Islamiyah Pesantren Darus Salam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu adalah kiai, tokoh masyarakat, sekaligus pemimpin Masyumi. “Mengobrol dalam keluarga tentu termasuk juga soal politik. Hanya, Cak Nur itu kan yang menonjol pemikirannya, bukan sikap politiknya.
Politik praktis mulai dikenal Nurcholish saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Saat menjadi kandidat ketua umum, kemampuan Nurcholish sudah cukup komplet. Pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus semua. “Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata Utomo menirukan kekaguman Eky Syahrudin Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu. Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi. Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”. “Gelar Natsir muda itu bukan karena dia pintar agama, melainkan karena pemikiran-pemikirannya. Saat itu hampir semua orang bilang begitu,” ujar Utomo, yang mengaku kenal Nurcholish sejak tahun 1960-an, yaitu saat Tom menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Nurcholish Ketua Umum HMI.Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan dari negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Hassan menuding Nurcholish sebagai anggota Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo.
Kejutan berikut datang lagi pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), saat para aktivisnya sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan politik. Nurcholish satu-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar. “Sebab, waktu itu, menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki segalanya, militer, birokrasi, dan uang,” kata Utomo. Maka, dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (P3), Nurcholish mengemukakan teori “memompa ban kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai saja ketimbang Golkar. “Cak Nur percaya pada check and balances, mengajak mahasiswa agar tidak memilih Golkar, dan dia tak masuk Golkar. Ada pengaruh atau tidak? Nyatanya, di Jakarta PPP menang. Dengan tema demokrasinya itu, orang menjadi lebih berani, sehingga Golkar di Jakarta terus-terusan kalah,” ujar Mas Tom. Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata tak hanya dibaca Roem, tetapi juga menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan Saidi dan Tom sendiri. Barangkali itu sebabnya, ketika Nurcholish pulang dari Amerika pada tahun 1984, setelah meraih gelar Ph.D, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Mereka antara lain Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, A.M. Fatwa, dan para tokoh lainnya. “Cak Nur saya kira istimewa. Ketika pulang dari AS, ternyata banyak sekali orang yang menyambutnya. Saya tidak pernah melihat seseorang yang selesai sekolah disambut seperti itu,” kata Mas Tom kagum. Di kalangan alumni HMI, Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya, saat Korps Alumni HMI (KAHMI) akhirnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan harus menemui Presiden Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kawan HMI-nya untuk menghadap Presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak mengikutkannya. Tapi ada yang menyatakan dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur datang, pertemuan menjadi cukup kuat,” kata Mas Tom yang ahli pendidikan itu.Pertemuan Nurcholish dengan Soeharto terakhir, pada Mei 1998, menunjukkan besarnya pengaruh Cak Nur. Saat itu Nurcholish berbicara langsung kepada Soeharto memintanya mundur.
Beberapa pemikiran :
Agama sebagai Pesan dan Nasehat Ketuhanan (al-Din Nasihah)
Secara keimanan (teologis), pemikiran dan ijtihad-ijtihad intelektual Cak Nur berupaya mengelaborasi dan memaknai pesan-pesan ketuhanan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dalam banyak kesempatan Cak Nur menegaskan bahwa al-Quran merupakan pesan (washaya) dan nashihah Tuhan (Allah). Berbicara pesan Tuhan, maka, selain al-Qur’an, kita mengenal Kitab-kitab Suci (Zabur, Taurat, Injil dan al-Qur’an) yang diturunkan Allah kepada Nabi-nabi sebelum Muhammad saw, Sang Khatam al-Rusul wa al-Anbiya. Dan Rasulullah mengenalkan jumlah Nabi sebanyak 124.000, diantaranya 313 merupakan Rasul. (HR. Ahmad).Pesan-pesan ketuhanan yang menjadi “titik temu” (common platform) dalam perjalanan panjang agama-agama (komunitas) itu bermuara pada “Kesadaran Ketuhanan” (takwa) dan keharusan keyakinan hanya ada satu “Tuhan Yang Esa” (tawhid). Berbicara kitab-kitab suci sebelum al-Qur’an, misalnya The Ten Commandement-nya Nabi Musa dan Injil-nya Nabi Isa, kita akan temukan pesan-pesan: untuk hanya menyembah Tuhan Yang Esa (tawhid) dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, tidak boleh membunuh/ berzinah/ mencuri/ memfitnah/ tidak bersaksi palsu dan dusta/ jangan menginginkan harta/ istri orang lain dan keharusan berbuat kebaikan. Inilah kalimat-un sawa (titik temu) antara agama-agama yang dikenal manusia dan orang-orang Islam diperintahkan sebagai landasan hidup bersama2. Inilah pesan-pesan yang bersifat universal dan menjadi inti dan “kesamaan” pada semua agama yang benar.untuk membincangkan pesan dasar yang merupakan perjanjian primordial kita untuk mengakui hanya ada “Satu Tuhan” (tawhid). Tawhid berkaitan dengan sikap percaya atau beriman kepada Allah, dengan segala implikasinya. Namun tawhid sebagai ekspresi iman, tidak cukup hanya dengan percaya, tetapi menyangkut juga pengertian yang benar tentang siapa Allah yang sejati, yang wajib dipatuhi dan sembah.
Pluralisme dan Tiga Sikap Keagamaan
Berbicara pemikiran Cak Nur tentang pluralisme, sama sekali berbeda jauh dengan definisi pluralisme yang dipahami dan diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Pluralisme (Agama): paham bahwa semua agama sama dan kebenaran setiap agama adalah relative: setiap pemeluk agama boleh mengklaim hanya agamanya yang benar/ semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga”.Dalam konteks definisi MUI di atas, penulis kedepankan sejarah pergumulan dan tiga sikap keagamaan umat Kristen mensikapi agama-agama di luar dirinya, dan umat Islam bisa melihat dirinya dan kaitannya dengan teologi pluralisme Cak Nur.
Pertama, Sikap Ekslusif. Sikap keagamaan yang tertutup dan memandang bahwa keselamatan hanya ada pada agama dan teologinya. Bagi Kristen, keselamatan hanya ada dalam gereja (ekstra ecclesiam nulla salus) atau tidak ada nabi di luar gereja (etraecclesiam nullus proheta). Pada umat Islam, sikap dan pandangan-pandangan semacam ini didasarkan pada Surah dan Ayat-ayat QS:al-Maidah/5:3), al-Imran/3:85 dan 19.5.
Kedua, Sikap Inklusif. Sikap keagamaan yang membedakan antara kehadiran penyelamatan dan aktifitas Tuhan dalam ajaran-ajaran agama-agama lain, dengan penyelamatan dan aktifitas Tuhan hanya ada pada satu agama (Kristen). Dalam Islam sikap dan pandangan-pandangan seperti ini dikembangkan oleh Ibn Taymiyah (tokoh yang menjadi konsentrasi disertasi doctoral Cak Nur di Chicago). Sikap dan pandangan kelompok yang disebut dengan Islam Inklusif ini didasarkan pada Surah dan Ayat QS:al-Imran/3:64 yang berbicara tentang “titik temu” (kalimat-un sawa) agama-agama dan al-Maidah/5”48. yang menjelaskan adanya syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran).
Ketiga, Sikap Paralelisme, Sikap keagamaan yang memandang bahwa keselamatan ada pada semua agama. Pengembangan sikap keagamaan ini melihat semua agama yang ada di dunia ini prinsipnya sama. Semua agama, dengan ekspresi teologi keimanan dan ibadahnya yang beragam, prinsipnya sama. Tidak ada bedanya antara Yahudi, Kristen, Islam dan agama lain semisal Budhisme, Shintoisme, Konfucuisme. Semuanya mengajarkan keselamatan dan akan selamat.
Pangkal Tolak Teologi Pluralime Cak Nur
Pluralisme Cak Nur berdiri tegak atas fundamen ajaran dan nilai etis al-Qur’an seutuhnya. Teologi ini berangkat dari kesadaran kemajemukan atau pluralitas umat manusia yang merupakan kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Tegasnya bahwa Allah menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (QS.49:13). Dan bahwa perbedaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit merupakan pluralitas yang mesti diterima sebagai kenyataan yang positif dan merupakan salah satu kebesaran Allah (QS. 30:22).Surat lain menegaskan bahwa perbedaan pandangan hidup dan keyakinan, justru hendaknya menjadi penyemangat untuk saling berlomba menuju kebaikan. Kelak di akhirat, Allah lah yang akan menerangkan mengapa dirinya berkehendak seperti itu dan keputusan yang paling adil di tangan-Nya (QS.5:48)Pemahaman yang didasarkan kesadaran kemajemukan secara social-budaya-religio yang tidak mungkin ditolak inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai pluralisme. Yaitu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untuk melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa kebaikan dan kemaslahatan.
Secara tauqifi (panduan pasti), menarik sekali bagaimana semangat pluralisme ini dicontohkan oleh Rasulullah, manusia teragung dan termulia dan tauladan sejati yang dipesankan al-Qur’an. Bermula dengan kehadiran serombongan pendeta Kristen dari Najran pada tahun IX Hirjah untuk berdebat dengan Rasul tentang keyakinan dan akan ketuhanan Isa as. Diskusi berlangsung beberapa hari di dalam Masjid Madinah, dan Rasul membolehkan mereka melaksanakan shalat sesuai dengan ajaran Kristen di dalam masjid. Diskusi tidak mencapai kata sepakat, sehingga akhirnya Rasul ber-“mubahalah”Pada tataran sosio-politik klasik, Rasulullah meletakkan “Konstitusi Madinah” yang terdiri dari 47 pasal. Berikut sedikit isi sebagian mukaddimahnya: “…..dan tidak satu pun bangunan dalam lingkungan kanisah dan gereja mereka yang boleh dirusak, begitu pula tidak dibenarkan harta gereja itu masuk untuk membangun masjid atau rumah orang-orang Muslim. Barang siapa melakukan hal itu…telah melanggar perjanjian Allah dan melawan Rasul”.Pasca Rasulullah, Khalifah Pertama, Abu Bakar mewasiatkan kepada tentaranya untuk menjaga keutuhan dan keselamatan “orang-orang sedang beribadah, tempat ibadah (gereja), anak-anak, orang tua dan perempuan”. Khalifah Kedua, Umar ibn Khattab melakukan “Perjanjian/ piagam Aelia” dengan penduduk Yerussalem, ketika kota itu ditaklukkan. Bahkan Umar melaksanakan shalat diteras gereja10. Dalam banyak karya tulisnya, Cak Nur sering mengutip pendapat Ibn Taymiyah sebagai berikut: Oleh karena pangkal agama, yaitu “al-islam” (sikap tunduk dan pasrah kepada Tuhan Yang Esa) itu satu, meskipun syariatnya bermacam-macam, maka Nabi saw bersabda: “Kami golongkan para nabi, agama kami adalah satu, “dan “Para nabi itu semuanya bersaudara, tunggal ayah lain ibu”, dan yang paling berhak kepada Isa putera Maryam adalah aku”. (Islam Doktrin dan Peradaban hal 182).
Prinsip Kemajemukan Keagamaaan
Apa yang dimaksud kemajemukan keagamaan (religious plurality) sebagaimana al-Qur’an ajarkan? Cak katakan:Ajaran (pemahaman) ini tidak perlu diartikan semua agama sama dalam bentuknya yang nyata sehari-hari (dalam hal ini, bentuk-bentuk nyata keagamaan orang-orang “muslim” pun banyak yang tidak benar karena secara prinsipil bertentangan dengan ajaran dasar Kitab Suci al-Qur’an, semisal pemitosan kepada sesama manusia atau makhluk yang lain, baik yang hidup atau yang mati) akan tetapi ajaran kemajemukan keagamaan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun secara kelompok. (Islam doktrin dan Peradaban, Paramadina, hal. 184)
Prinsip-prinsip dan Landasan Pluralime Cak Nur
1. Prinsip Pluralitas Merupakan Takdir Tuhan (QS:2:213, QS;5;48)
2.Prinsip Pengakuan Hak Eksistensi Agama di luar Islam (QS:5:44-50, QS:22;38-40)
3.Prinsip titik temu dan kontinuitas Agama-agama, Nabi dan Rasul (QS:2;136-165, QS:2:285, QS:42:13, QS:4:163-165, QS:2:136, QS,29:46 QS,42:15, QS,5:8)
4. Prinsip tidak ada paksaan dalam Agama (QS, 2:256, QS,10:99, QS,22:38-40)
5. Tiga Prinsip Esensi Agama: Keimanan kepada Tuhan, Hari akhirat dan Berbuat Baik (QS,2:62, QS,5:26)
6. Prinsip Menjunjung Nilai-nilai Kemanusiaan (HAM) (QS,5:32)
Atas dasar semua itu Cak Nur mengatakan. ”…meskipun tidak sepenuhnyua sama dengan yang ada di zaman modern ini, namun prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam Islam klasik itu sama dengan yang ada sekarang. Bahkan tidak berlebihan … merupakan pengembangan lebih lanjut dan konsisten yang ada dalam Islam klasik. Wallahu a’lam bi al-Shahawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar