Jumat, 01 April 2011

Islam Tradisional

Tugas Kuliah T.I.S 2008
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Masyarakat Islam di Indonesia melalui pemimpinnya berpandangan bahwa negara (kekuasaan politik) amat diperlukan sebagai instrumen untuk menjamin dan melaksanakan ajaran-ajarannya dalam kehidupan kolektif. Istilah ini pada intinya adalah untuk menjelaskan dua kata yang ketika di gabung memiliki makna penguatan satu sama lain. Adanya kekuatan masyarakat Islam dalam politik, atau sebaliknya adanya kekuatan politik pada masyarakat Islam. Dua kekuatan ini, bagaimanapun berpangkal dari tidak terpisahkannya agama (Islam) dengan politik. Kita akan melihat hubungan ini dalam perjalanan umat Islam di Indonesia. Mengutip Ibnu Taymiyah, Ahmad Syafi’i Maarif menyatakan bahwa “wilayah (organisasi politik) bagi (kehidupan kolektif) manusia merupakan keperluan agama yang terpenting. Tanpa topangannya agama tidak akan tegak dengan kukuh . Sedangkan hal ini tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa Islam adalah sebuah agama yang multi interpretatif, yang membuka kemungkinan kepada banyak penafsiran mengenainya (a polyinterpretable religion) . Meskipun pada tingkat yang paling umum hanya ada satu Islam, bentuk dan ekspresinya beragam dari satu individu Muslim ke individu Muslim lainnya. Karena itu, Islam tidak
bisa dan tidak seharusnya di lihat secara monolitik.

Politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang multi-interpretatif itu.
Pada sisi lain, hampir setiap Muslim percaya akan pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan politik. Pada saat yang sama, karena sipat Islam yang multi-interpretatif itu, tidak pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam dan politik dikaitkan secara khas, sehingga ada banyak pendapat yang berbeda – beberapa bahkan saling bertentangan – mengenai hubungan yang sesuai antara Islam dan politik. Hubungan antara Islam dan Politik di Indonesia memiliki tradisi yang amat panjang. Akar-akar genealogisnya dapat ditarik ke belakang hingga akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14, ketika Islam, sebagaimana dikatakan banyak kalangan, pertamakali diperkenalkan dan disebarkan di kepulauan ini. Dalam perjalanan sejarahnya yang kemudian inilah Islam, sambil mengadakan dialog yang bermakna dengan realitas-realitas sosio-kultural dan politik setempat, terlibat dalam politik. Pada kenyataannya malah dapat dikatakan bahwa Islam, sepanjang perkerkembangannya di Indonesia, telah menjadi bagian integral dari sejarah politik negeri ini.
Kekuatan islam sendiri di indonesia terbagi menjadi 2 aliran pokok yakni aliran islam tradisional klasik dalam hal ini lebih di identik kan kepada nahdatul ulama (NU) dan islam modern yakni muhamdiah. Sering kita jumpai, komentar-komentar orang Barat mengenai hubungan antara agama dan politik di Indonesia umumnya terfokuskan pada politik. Bahkan tidak sedikit tulisan-tulisan yang membahas agama, ternyata hanya membicarakan manifestasi sosio-politisnya; sedangkan agama sebagai agama, sebagai matra otonom, sangat jarang dimunculkan. Pandangan ini bisa dikatakan benar ataupun sebaliknya, jika melihat keadaan dinamika hubungan umat Islam dengan negara memiliki perkembangan yang begitu pluktuatif. Pasang surut hubungan Islam, dalam pengertian kekuatan politik, dengan negara dalam kurun waktu tiga dekade (30 tahun) belakangan setidak-tidaknya dipengaruhi oleh : pertama, besarnya tingkat keterwakilan (representativeness) umat Islam dalam negara; kedua, terintegrasinya umat Islam ke dalam negara melalui saluran-saluran eksekutif, legislatif dan yudikatif . ketiga, pelembagaan idiom Islam atau dipakainya idiom-idiom Islam dalam proses penyelenggaraan negara . Dari ketiga hubungan ini bisa dilihat bagaimana pola hubungan Islam dengan negara itu terbentuk, mungkin memiliki kecenderungan akomodatif atau sebaliknya.
BAB II
Islam tradisional di Indonesia
a. Tradisionalisme
Tradisi merupakan adat istiadat ,ajaran-ajaran sosial, dan pandangan-pandangan nilai, yang diwariskan dari generasi ke generasi. ini merupakan warisan kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau kelompok-kelompok sosial masyarakat untuk kurun waktu yang panjang. Tradisional yang dalam bahasa Indonesia menjadi tradisi diartikan segala sesuatu, seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya yang turun temurun dari nenek moyang.
Islam tradisionalis dalam perkembangan selanjutnya, tidak hanya ditujukan kepada mereka yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah serta ijma’ ulama, melainkan juga kepada produk-produk pemikiran (hasil ijtihad) para ulama yang dianggap unggul dan kokoh dalam berbagai bidang keilmuan seperti fiqh, tafsir, teologi, tasawuf dan sebagainya yang pada hakekatnya merupakan hasil penalaran terhadap Al-Qur’an dan sunnah tersebut harus dipegang teguh dan tidak boleh diubah. Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat dikatakan bahwa organisasi Islam tradisional merupakan sebuah gerakan yang mengupayakan untuk mempertahankan tradisi dalam menganut mazhab tertentu serta melakukan ihya’ oleh para ulama dengan membentuk suatu gerakan organisasi.[1]
Tradisionalisme berakar pada filsafat perenial yang hakikatnya adalah universal dan telah ada sejak dahulu kala (immemorial). Dikenalnya perennial philosophy sebagai nazhab filsafat dan mistisme serta sebagai world view adalah berkat usaha keras ketiga pelopor yang disebut-sebut sebagai “the Masters”, yakni: Rene Guenon, Ananda Commaraswamy dan Fritchof Schoun yang kemudian diinterpretasikan dan mengembangkannya hingga pengakuan ilmiyah yang sejajar dan setaraf dengan filsafat adalah Sayyed Hossein Nasr dalam karyanya Knowledge and the Sacred.[2] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tradisionalisme sebetulnya merupakan kecenderungan pemikiran baru, yang mana sosoknya belum mengkristal dan terlihat secara kongkrit. Dasar-dasar sudah ada sejak dahulu dan tak pernah mengalami perubahan kecuali pada level bentuk luarannya saja. Dari sini, istilah “tradisi” yan dipakai oleh kauman tradisionalis todak seperti yang dimaksudkan oleh ahli perbandingan agama, sosiologi, antropologi dan sebagainya yang ada pada abad modern pada umumnya. Bagi sosiolog, tradisi adalah adat istiadat, tradisi , keyakinan, etika dan moral yang diyakini sekumpulan masyarakat tertentu dari generasi ke generasi. [3] Namun bagi kaum tradisionalis istilah tradisi sudah mengalami pergeseran nakna. Menurut Hossein Nasr mengemukakan bahwa tradisi adalah realitas-realitas atau prinsip-prinsip dasar keTuhanan yang asli yang diwahyukan kepada seluruh manusia dan alam melalui perantara para Rpsul dan Nabi atau lainnnya dan dengan berbagai cabang prinsip tersebut dalam berbagai bidang dan berbagai bidang ilmu. Atau dengan kata lain “tradisi” adalah kembalikan “modernisme” dan “sekulerusme”.[4]
Ditinjau dari sudut pandang sejarah, tradisi merupakan adat istiadat , ritus-ritus,ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan nilai, dsb. yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan warisan kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau kelompok-kelompok sosial masyarakat untuk kurun waktu yang panjang.[5] Kata tradisionalis berasal dari bahasa inggris tradition; (sunnah; arab) yang dalam bahasa Indonesia menjadi tradisi diartikan segala sesuatu, seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya yang turun temurun dari nenek moyang. Sedangkan kata sunnah menjadi suatu istilah yang mengacu pada segala sesuatu yang berasal dari nabi, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan.[6] Atas dasar pengertian ini, maka kaum orientalis barat menyebut kaum tradisionalis kepada setiap orang yang berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah SAW, bahkan juga kepada mereka yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an.[7] Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat dikatakan bahwa organisasi Islam tradisional merupakan sebuah gerakan yang mengupayakan untuk mempertahankan tradisi dalam menganut mazhab tertentu serta melakukan ihya’ oleh para ulama dengan membentuk suatu gerakan organisasi.
b. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (masyumi)
Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diijinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada di zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dan PII (Partai Islam Indonesia). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh atau tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam Putera, Jepang mendirikan Masyumi. Masyumi pada mulanya juga mewadahi organisasi, yakni Persatuan Islam (Bandung 1948), Al-Irsyad (Jakarta, 1950), termasuk partai-partai kecil lainnya yang ada di daerah-daerah, seperti Al-Jamiyatul Wasliyah (Sumatera Utara), Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA, pimpinan Daud Bereuh tahun 1949-1953). Antara bulan Nopember sampai Desember 1945, berbagai partai politik bermunculan di tanah air. Umat Islam, sekalipun tidak secara lang-sung berkaitan dengan seruan pemerintah itu, menyelenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia pada tanggal 7-8 Nopember 1945 di Yogyakarta. Semangat yang menjiwai kongres itu bukan saja semangat persatuan, tetapi juga semangat kesatuan. Kongres yang dilaksanakan pada saat seluruh bangsa tengah menghadapi tentara sekutu dan tentara Belanda yang mem-bonceng sekutu, dan berniat kembali menjajah bangsa Indonesia, dengan tegas dan penuh keyakinan mengumandangkan seruan jihad fi sabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada kongres ini, umat Islam memu-tuskan untuk membentuk Sabilillah dan Hizbullah. Kemudian kongres tersebut menghasilkan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi Partai ini didirikan melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945, dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam dalam bidang politik. Untuk sebagian besar yang mendukung gagasan negara Islam tidak menyerah begitu saja, gerakan Darul Islam (1949) yang memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin Kartosuwirjo dan perjuangan wakil-wakil Islam di dalam sidang Konstitutante hasil pemilu 1955 untuk menggolkan kembali gagasan negara Islam, terutama dalam hubungannya dengan gagasan bahwa Islam harus dijadikan sebagai dasar negara Indonesia, karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Menyikapi ini, M. Natsir menegaskan bahwa Indonesia hanya memiliki dua pilihan, yaitu sekularisme (la-diniyah) atau paham keagamaan (dini). Dan menurut pendapatnya, Pancasila adalah bercorak la-diniyah, karena itu ia sekular, sebab tidak mengakui wahyu sebagai sumbernya. Pembentukan Partai Masyumi di Yogyakarta pada tahun 1945, melalui Kongres Umat Islam , salah satu tujuannya adalah “untuk melak-sanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan”. Dalam kongres ini menghasilkan kesepakatan bahwa Masyumi merupakan satu-satunya ins-titusi politik umat Islam. Dari komposisi personalia kepengurusan Masyumi, tampak bahwa partai ini melibatkan seluruh fungsionaris Islam pasca kemerdekaan seperti dalam Majlis Syuro diketuai oleh Hasyim Asy’ari (NU), Agus Salim (PSII) dan lain-lain; sedangkan Pengurus Besar diketuai oleh Sukiman, Abikusno Tjokrosujoso, dan kemudian melibatkan M.Natsir, Muhammad Roem, dan juga Kartosuwirjo. Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari. Nahdlatul Ulama kemudian keluar dari Masyumi melalui surat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja. Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang surut secara politis, dan sempat merenggang pada saat Pemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960. Tidak lagi tergabungnya PSII (1947) dan NU (1952) dalam Masyumi, menjadi salah satu indikasi telah terjadinya perpecahan dalam politik Islam dan menyebabkan semakin melemahnya Masyumi sebagai kekuatan politik Islam. Kemudian NU menjadi partai politik (1952), dan pada pemilu 1955 NU muncul sebagai partai terbesar nomor tiga sesudah PNI dan Masyumi dengan meraih 18,4 persen suara dari seluruh jumlah peserta pemilu. Sehingga, NU mendapatkan 45 kursi dalam parlemen. Masyumi pada akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 dikarenakan tokoh-tokohnya dicurigai terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
c. Nahdhatul Ulama’ (NU)
Ø Perkembangan Awal
Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1334 H) oleh K.H. Hasyim Asy’ari beserta para tokoh ulama tradisional dan usahawan di Jawa Timur. Sejarah lahirnya Gerakan Nahdatul Ulama(NU) diawali dengan Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.[8]
Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Kongres Islam Internasional di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.[9] Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Bagi banyak kalangan ulama tradisional, kritikan dan serangan dari kaum reformis itu tampaknya dipandang sebagai serangan terhadap inti ajaran Islam. Pembelaan kalangan ulama tradisional terhadap tradisi-tradisi menjadi semakin ketat sebagai sebuah ciri kepribadian. Mazhab Imam Syafii merupakan inti dari tradisionalisme ini, meskipun mereka tetap mengakui mazhab yang lainnya. Ulama tradisional memilih salah satu mazhab dan mewajibkan kepada pengikutnya, karena (dinilainya) di zaman sekarang ini tidak ada orang yang mampu menerjemahkan dan menafsirkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Alquran dan sunah secara menyeluruh.
Di sisi lain, berdirinya NU dapat dikatakan sebagai ujung perjalanan dari perkembangan gagasan-gagasan yang muncul di kalangan ulama di perempat abad ke-20. Berdirinya NU diawali dengan lahirnya Nahdlatul Tujjar (1918) yang muncul sebagai lambing gerakan ekonomi pedesaan, disusul dengan munculnya Taswirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, dan Nahdlatul Wathon (1924) sebagai gerakan politik dalam bentuk pendidikan. Dengan demikian, bangunan NU didukung oleh tiga pilar utama yang bertumpu pada kesadaran keagamaan. Tiga pilar pilar tersebut adalah (a) wawasan ekonomi kerakyatan; (b) wawasan keilmuan dan sosial budaya; dan (c) wawasan kebangsaan.
NU menarik massa dengan sangat cepat bertambah banyak. Kedekatan antara kiai panutan umat dengan masyarakatnya dan tetap memelihara tradisi di dalam masyarakat inilah yang membuat organisasi ini berkembang sangat cepat, lebih cepat daripada organisasi-organisasi keagamaan yang ada di Indonesia. Setiap kiai membawa pengikutnya masing-masing, yang terdiri dari keluarga-keluarga para santrinya dan penduduk desa yang biasa didatangi untuk berbagai kegiatan keagamaan. Dan, para santri yang telah kembali pulang ke desanya, setelah belajar agama di pondok pesantren, juga memiliki andil besar dalam perkembangan organisasi ini, atau paling tidak memiliki andil di dalam penyebaran dakwah Islam dengan pemahaman khas NU. Pada tahun 1938 organisasi ini sudah mencapai 99 cabang di berbagai daerah. Pada tahun 1930-an anggota Nu sudah mencapai ke wilayah Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Selatan. Kini organisasi NU menjadi organisasi terbesar di Indonesia, yang tersebar di seluruh Provinsi, bahkan sekarang telah berdiri cabang-cabang NU di negara-negara lain.
Dalam Pemilu 1955, NU muncul sebagai partai ketiga dengan jumlah kursi sebanyak 45 buah. Dalam beberapa kabinet Partai NU pernah memperoleh posisi sebagai menteri dan Wakil Perdana Menteri. Dalam zaman demokrasi terpimpin, Partai NU adalah satu dari sepuluh partai yang masih aktif. Demikian pula halnya dengan keadaan pada awal era Orde Baru. Pada tahun 1973, Partai NU bersama dengan Parmusi, PSII, dan Perti bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pada tahun 1984, NU menerima Pancasila sebagai asas dan kembali ke khiththah 1926. NU menyatakan bahwa dirinya menjaga jarak yang sama terhadap partai politik yang ada. Kemudian banyak aktivis NU yang menjadi fungsionaris Golkar di tingkat lokal maupun nasional. Kemudian muncullah istilah "NU Politik" dan "NU Kultural". Upaya meningkatkankiprah NU di bidang ekonomi dan pengembangan SDM serta advokasi mulai
mendapat perhatian. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum PBNU membawa NU menjadi Ormas yang disegani dan memperoleh perhatian dunia internasional.
Paham NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu mazhab:Syafi'i meskipun mengakui tiga madzhab yang lain: Hanafi, Maliki, Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu anggota, pendukung atau simpatisan dan Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini tidak ada upaya serius di tumbuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya. Dari segi pendukung atau simpatisan ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, ini bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yiatu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari (Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009) memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Sedangkan jumlah Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU. Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan sumatra. Perkembangan terakhir pengikut NU mempunyai profesi beragam yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Ø Masa Orde Baru
Salah satu ide pokok yang muncul dan mempengaruhi alam pemikiran umat Islam, terutama kaum muda Islam yang berada di kota, adalah ide “pembangunan dan modernisasi”, atau pada umumnya di sebut “pem-bangunan” saja . Bagaimanapun juga, ide tentang pembangunan yang men-jadi isu terkenal pada awal Orde Baru ini, selalu dihubungkan dengan nilai-nilai Islam dan umatnya, atau, lebih tepatnya, sebagai “respon ideologis” terhadap masalah modernisasi. Oleh karena itu, yang menjadi persoalan bagi umat Islam adalah bagaimana melihat modernisasi atau “pembangun-an” itu dari kacamata ajaran Islam. Artinya, apakah modernisasi beserta kebijaksanaan pembangunan nasional yang berorientasi ke program dan lebih bersipat pragmatis itu tidak menimbulkan implikasi-implikasi negatif pada diri umat Islam.
Di luar persoalan tersebut, munculnya Orde Baru, terkandung harapan dari para pemimpin politik Islam tentang kemungkinan kembalinya Islam dalam panggung politik nasional, terutama harapan untuk tampilnya kembali partai politik Islam Masyumi, yang oleh penguasa lama dibubarkan. Sayangnya, harapan itu tak pernah menjadi kenyataan, karena partai Masyumi tidak direhabilitasi. Bahkan, kecenderungan Orde Baru dalam kebijakan-kebijakan politisnya lebih banyak merugikan umat Islam. Misal-nya, pada periode 1970-1973 ada ketegangan antara kelompok-kelompok politik yang berorientasi agama Islam dengan penguasa, berkaitan dengan rencana fusi partai-partai politik Islam. Penyederhanaan itu ditempuh de-ngan pengelompokkan partai menjadi tiga golongan utama : Golongan Karya, partai-partai yang berdasarkan nasionalisme, dan partai-partai yang berdasarkan agama. Akhirnya, pada tahun 1973 sembilan partai, yakni IPKI, Partai Katolik, Parkindo, Murba, dan PNI berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memfusi-kan partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Tidak mencantumkan kata “Islam” dalam partai yang baru dibentuk ini (PPP) dengan memilih kata “pembangunan” tentu mengurangi identitas politik Islam. Kecurigaan umat Islam semakin kuat ketika kebijakan Orde Baru sebenarnya sedang me-nyingkirkan Islam dari gelanggang politik dengan lahirnya RUU Perkawin-an tahun 1974, perubahan lambang PPP dari Ka’bah menjadi bintang, peristiwa Tanjung Priuk, Asas Tunggal Pancasila, isu Komando Jihad, UU Pendidikan Nasional, dan UU Peradilan Agama
Ø NU dalam PPP dimasa Orde Baru
Pada saat pendeklarasiannya pada tanggal 5 Januari 1973 partai ini merupakan hasil gabungan dari empat partai keagamaan yaitu Partai Nadhatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Perti dan Parmusi. Ketua sementara saat itu adalah H.M.S Mintaredja SH. Penggabungan keempat partai keagamaan tersebut bertujuan untuk penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama pada masa Orde Baru tahun 1973.
PPP lahir dari masyarakat Islam Inklusif, bukan Eksklusif. Saat itu, PPP menghadapi tantangan besar atas kehadiran partai-partai Islam: Partai NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam (PSI), dan Partai Tarbiyatul Islam (Perti) yang kemudian dimerger menjadi satu partai dalam wadah PPP. [10]Meski begitu, PPP tetap eksis. Bahkan, pada Pemilu 1992, PPP pernah unggul di DKI Jakarta , di atas suara Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI tanpa Perjuangan-P). Saat itu, suara PPP juga unggul di beberapa kota lainnya. PPP telah menjadi simbol partai perlawanan. Keberanian Naro mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden, meski akhirnya mundur, menjadi satu-satunya sejarah perlawanan Calon Wakil Presiden dari PPP pada Soeharto. Padahal, Soeharto sudah menyodorkan nama Soedharmono yang saat itu menjadi Ketua Umum Golkar. Itu fenomena orba. Dalam hubungannya dengan perkembangan pemikiran politik Islam, pada masa Orde Lama, polarisasi kelompok nasionalis dan kelompok Islam semakin mengkristal menjadi poros ideologi dan partai. PNI menjadi simbol Nasionalis, dan Masyumi menjadi simbol Islam. Pada masa Orde Baru, per-saingan kelompok nasionalis dan Islam diredakan melalui kebijakan penye-derhanaan partai politik dan pemberlakuan asas tunggal Pancasila, melalui simbol PPP dan PDI, dan dikemas dalam ‘ideologi pembangunan’, seakan tidak terjadi lagi konflik nasionalis dan Islam. Yang ada adalah pendukung status quo dan penentang status quo.
Perkembangan politik Islam pada masa Orde Baru untuk sepuluh tahun pertama tidaklah menguntungkan. Hubungan antara negara dan Islam dapat digambarkan sebagai penuh ketegangan. Pemerintah yang dinakhodai Soeharto dengan kekuatan inti ABRI (Angkatan Darat), mempraktekkan politik diskriminatif terhadap Islam. Apapun yang datangnya dari Islam, selalu ditanggapi pemerintah dengan pendiskreditan. Sebagai akibatnya, di pihak Islam bermunculan kelompok fundamentalis yang menentang hampir semua kebijakan pemerintah. Kesan bahwa Islam itu tradisionalis, anti modernisasi, anti pembangunan, dan bahkan anti Pancasila, telah menyebab-kan umat Islam terkena proses marjinalisasi dalam modernisasi dan pem-bangunan nasional. Munculnya gerakan “pemikiran baru” Islam di kalangan intelektual muda Islam pada tahun 1970-an, adalah merupakan salah satu bentuk penyikapan agar umat Islam diperhitungkan eksistensinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gagasan “pemikiran baru” Islam mendapatkan bentuknya paling awal ketika Nurcholish Madjid menuliskan gagasan-gagasannya dalam sebuah makalah berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat”. Inti yang dikemukakan oleh Nurchlish adalah berkenaan dengan kondisi umat Islam yang dikesani kurang menguntung-kan. Oleh karena itu, umat Islam dihadapkan pada dua pilihan antara keharusan pembaruan dan mempertahankan sikap tradisionalistik. Kedua-nya memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu. Pilihan pertama tampaknya mempunyai potensi yang dapat menimbulkan perpecahan umat, sementara pilihan kedua berarti memperpanjang situasi kejumudan intelektual umat Islam. Bagi Nurcholish Madjid, pilihan pertama akan lebih baik dan bermanfaat, sekalipun nantinya akan menemui kegagalan, sebab upaya melepaskan diri dari tirai jumud dan stagnasi berfikir telah dilakukan. Umat Islam harus membuka mata terhadap cacat-cacat yang menempel pada tubuhnya, dan melakukan gerakan pembaruan ide-ide, melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Memulai menggerakkan usaha-usaha semacam inilah tampaknya yang diperlukan masyarakat muslimin Indonesia.
Setelah NU menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.
Selain itu, tentu saja, akibat rivalitas dengan kalangan modernis yang menjadi kelompok dominan di PPP. Dengan demikian, dapat dimengerti jika sejak muktamar 1984 di Situbondo, NU menyatakan kembali khitah 1926, dan mengundurkan diri dari politik praktis, yang secara otomatis menarik dukungan dari PPP.
Ø NU dalam PPP dan PKB Pasca Reformasi
Pembentukan
Setelah NU menarik dirinya dari PPP, Pasca reformasi muncul partai bernafaskan NU yaitu PKB (Partai Keadilan Bangsa) yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pendirian PKB dimulai pada 11 Mei 1998. Ketika para kyai sesepuh di Langitan mengadakan pertemuan. Mereka membicarakan situasi terakhir yang menuntut perlu diadakan perubahan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran. Saat itu para kyai membuat surat resmi kepada Pak Harto yang isinya meminta agar beliau turun atau lengser dari jabatan presiden. Pertemuan itu mengutus Kyai Mu’hid Mujadid dari Jember dan Gus Yusuf Muhammad menghadap Pak Harto untuk menyampaikan surat itu. Mereka berangkat ke Jakarta, meminta waktu tetapi belum dapat jadwal. Sehingga sebelum surat itu diterima, Pak Harto sudah mengundurkan diri terlebih dahulu, tanggal 23 Mei 1998.
Setelah itu, pada tanggal 30 Mei 1998, diadakan istiqosah akbar di Jawa Timur. Lalu semua kyai berkumpul di kantor PBNU Jatim. Para kyai itu mendesak KH Cholil Bisri supaya menggagas dan membidani pendirian partai bagi wadah aspirasi politik NU. “Tapi saya mengatakan, jangan saya,” kata KH Cholil Bisri. Sebab ia merasa sudah capek jadi orang politik. Ia merasa lebih baik di pesantren saja. Tetapi para kyai terus mendorongnya karena dinilai lebih berpengalaman dalam hal politik. Ketika itu Gus Dur belum ikut. Makanya ia terus dipaksa.
Kemudian, tanggal 6 Juni 1998, ia mengundang 20 kyai untuk membicarakan hal tersebut. Undangan hanya lewat telepon. Tetapi pada hari H-nya yang datang lebih 200 kyai. Sehingga rumahnya sebagai tempat pertemuan penuh. Dalam pertemuan itu terbentuklah sebuah panitia yang disebut dengan Tim “Lajenah” karena terdiri dari 11 orang. Ia sendiri menjadi ketua. Sekretarisnya Gus Yus. Panitia ini bekerja secara maraton untuk menyusun platform dan komponen-komponen partai termasuk logo (yang sampai saat ini menjadi lambang resmi partai) yang pembuatannya diserahkan kepada KH.A. Mustofa Bisri. Selain itu terbentuk juga Tim Asistensi Lajenah terdiri dari 14 orang yang diketuai oleh Matori Abdul Djalil dan sekretarisnya Asnan Mulatif.
Pada tanggal 18 Juni 1998, panitia mengadakan pertemuan dengan PBNU. Dilanjutkan audiensi dengan tokoh-tokoh politik (NU) yang ada di Golkar, PDI dan PPP. Panitia menawarkan untuk bergabung, tanpa paksaan. PBNU sendiri menolak pendirian partai. Setelah itu, pada tanggal 4 Juli 1998, Tim ‘Lajenah’ beserta Tim dari NU mengadakan semacam konfrensi besar di Bandung dengan mengundang seluruh PW NU se-Indonesia. 27 perwakilan datang semua. Hari itu diputuskan nama partai. Usulan nama adalah Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Kebangitan Ummat dan Partai Nahdlatul Ummat. Akhirnya hasil musyawarah memilih nama PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Lalu ditentukan siapa-siapa yang menjadi deklarator partai. Disepakati 72 deklarator, sesuai dengan usia NU ketika itu. Jumlah itu terdiri dari Tim Lajenah (11), Tim Asistensi Lajenah (14), Tim NU (5), Tim Asistensi NU (7), Perwakilan Wilayah (27 x 2), Ketua–ketua Event Organisasi NU, tokoh-tokoh Pesantren dan tokoh-tokoh masyarakat. Semua deklarator membubuhkan tandatangan dilengkapi naskah deklarasi. Lalu diserahkan ke PBNU untuk mencari “kapten” partai ini.
Ketika masuk ke PBNU, dinyatakan bahwa yang menjadi deklaratornya 5 orang saja, bukan 72 orang. Kelima orang itu yakni Kyai Munasir Allahilham, Kyai Eliyas Ruhyat, Kyai Muhid Mujadid dan KH. A. Mustofa Bisri dan ditambah Abddurahman Wahid sebagai ketua PBNU. Nama 72 deklarator dari Tim Lajenah itu dicoreti semua oleh PBNU. “Ya terima saja. Sebab saya berpikir untuk dapat berjuang bukanlah harus ada di dalam struktur,” ujar KH Cholil Bisri, ketika Wartawan Tokoh Indonesia mengonfirmasi hal ini dalam percakapan dengannya di ruang kerjanya di Gedung MPR-RI (22/10/02).
Dalam menyikapi usulan yang masuk dari masyarakat Nahdliyin, PBNU menanggapinya secara hati-hati. Hal ini didasarkan pada adanya kenyataan bahwa hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo yang menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. Namun demikian, sikap yang ditunjukan PBNU belum memuaskan keinginan warga NU. Banyak pihak dan kalangan NU dengan tidak sabar bahkan langsung menyatakan berdirinya parpol untuk mewadahi aspirasi politik warga NU setempat. Diantara yang sudah mendeklarasikan sebuar parpol adalah Partai Bintang Sembilan di Purwokerto dan Partai Kebangkitan Umat (Perkanu) di Cirebon.
Akhirnya, PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 3 Juni 1998 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai oleh KH Ma'ruf Amin (Rais Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota, KH M Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr KH Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU), H M. Rozy Munir,S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan organisatoris, Tim Lima itu dibekali Surat Keputusan PBNU.
Pada tanggal 22 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya. Tanggal 26 - 28 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan konsinyering di Villa La Citra Cipanas untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol. Pertemuan ini menghasilkan lima rancangan:
Pokok-pokok Pikiran NU Mengenai Reformasi Politik, Mabda' Siyasiy, Hubungan Partai Politik dengan NU, AD/ART [11]
Warga NU mempunyai nafsu bahkan “syahwat” politik yang cukup besar. Khittah 1926 sebenarnya bagian dari sikap politik warga NU untuk menyiasati keadaan saat itu. Ketika Soeharto lengser, nafsu politik ini tercurah dalam keinginan membuat partai, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dibentuknya PKB ini yang berakar dan berlatarbelakang tradisi NU, sebagai wadah aspirasi politik menjadi jawaban yang taktis dalam merespon dilema tersebut. Disamping itu, peminggiran politik NU dalam pentas politik nasional pada masa pemerintahan rezim Orde Baru, telah menjadikan NU memiliki semangat yang begitu tinggi untuk kembali tampil kearena politik praktis, apalagi peluang dan kesempatan itu telah terbuka.
PKB Pasca Reformasi
Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR. Berdirinya PKB dimulai pada 11 Mei 1998. Ketika para kyai sesepuh di Langitan mengadakan pertemuan. Mereka membicarakan situasi terakhir yang menuntut perlu diadakan perubahan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran. Saat itu para kyai membuat surat resmi kepada Pak Harto yang isinya meminta agar beliau turun atau lengser dari jabatan presiden. Pertemuan itu mengutus Kyai Mu’hid Mujadid dari Jember dan Gus Yusuf Muhammad menghadap Pak Harto untuk menyampaikan surat itu. Mereka berangkat ke Jakarta, meminta waktu tetapi belum dapat jadwal. Sehingga sebelum surat itu diterima, Pak Harto sudah mengundurkan diri terlebih dahulu, tanggal 23 Mei 1998. Setelah itu, pada tanggal 30 Mei 1998, diadakan istiqosah akbar di Jawa Timur. Lalu semua kyai berkumpul di kantor PBNU Jatim. Para kyai itu mendesak KH Cholil Bisri supaya menggagas dan membidani pendirian partai bagi wadah aspirasi politik NU. “Tapi saya mengatakan, jangan saya,” kata KH Cholil Bisri. Sebab ia merasa sudah capek jadi orang politik. Ia merasa lebih baik di pesantren saja. Tetapi para kyai terus mendorongnya karena dinilai lebih berpengalaman dalam hal politik. Ketika itu Gus Dur belum ikut.
Pada tanggal 18 Juni 1998, panitia mengadakan pertemuan dengan PBNU. Dilanjutkan audiensi dengan tokoh-tokoh politik (NU) yang ada di Golkar, PDI dan PPP. Panitia menawarkan untuk bergabung, tanpa paksaan. PBNU sendiri menolak pendirian partai. Setelah itu, pada tanggal 4 Juli 1998, Tim ‘Lajenah’ beserta Tim dari NU mengadakan semacam konfrensi besar di Bandung dengan mengundang seluruh PW NU se-Indonesia. 27 perwakilan datang semua. Ketika masuk ke PBNU, dinyatakan bahwa yang menjadi deklaratornya 5 orang saja, bukan 72 orang. Kelima orang itu yakni Kyai Munasir Allahilham, Kyai Eliyas Ruhyat, Kyai Muhid Mujadid dan KH. A. Mustofa Bisri dan ditambah Abddurahman Wahid sebagai ketua PBNU. Nama 72 deklarator dari Tim Lajenah itu dicoreti semua oleh PBNU. “Ya terima saja. Sebab saya berpikir untuk dapat berjuang bukanlah harus ada di dalam struktur,” ujar KH Cholil Bisri, ketika Wartawan Tokoh Indonesia mengonfirmasi hal ini dalam percakapan dengannya di ruang kerjanya di Gedung MPR-RI (22/10/02).
Dalam menyikapi usulan yang masuk dari masyarakat Nahdliyin, PBNU menanggapinya secara hati-hati. Hal ini didasarkan pada adanya kenyataan bahwa hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo yang menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. Namun demikian, sikap yang ditunjukan PBNU belum memuaskan keinginan warga NU. Banyak pihak dan kalangan NU dengan tidak sabar bahkan langsung menyatakan berdirinya parpol untuk mewadahi aspirasi politik warga NU setempat. Diantara yang sudah mendeklarasikan sebuar parpol adalah Partai Bintang Sembilan di Purwokerto dan Partai Kebangkitan Umat (Perkanu) di Cirebon. Akhirnya, PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 3 Juni 1998 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai oleh KH Ma'ruf Amin (Rais Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota, KH M Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr KH Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU), H M. Rozy Munir,S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan organisatoris, Tim Lima itu dibekali Surat Keputusan PBNU. Selanjutnya, untuk memperkuat posisi dan kemampuan kerja Tim Lima seiring semakin derasnya usulan warga NU untuk menginginkan partai politik, maka pada Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 20 Juni 1998 memberi Surat Tugas kepada Tim Lima, selain itu juga dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU) dengan anggota H Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma'ruf, Lc., Drs. H Abdul Aziz, M.A., Drs. H Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H Lukman Saifuddin, Drs. Amin Said Husni dan Muhaimin Iskandar. Tim Asistensi bertugas membantu Tim Lima dalam mengiventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk parpol baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi poitik warga NU.
Dalam tubuh PKB terdapat nuansa baru dalam pemikiran anak muda NU Yakni, adanya dua tradisi yang dimiliki, yakni tradisi pesantren dan tradisi pendidikan formal seperti perguruan tinggi negeri. Dan, ini merupakan kekayaan yang tidak dimiliki oleh kalangan lain. Karena itulah, tanpa tendensi apapun, anak muda harus diperhatikan oleh organisasi induknya agar ia tetap loyal mengawal NU kedepan. Tanpa ada keseriusan dan perhatian dari kalangan tua NU seperti Kiai, jangan harap mereka bisa memberikan konstribusi apapun kepada NU, atau justru mengambil posisi oposisi terhadap NU. Namun demikian, perbedaan pemikiran antara kalangan tua dengan kalangan muda NU tidak harus menjadi penghalang untuk selalu melakukan kerjasama diantara mereka. Dan, ini merupakan keniscayaan sebagai upaya membangun masa depan NU yang cerah. Pemikiran apapun yang muncul dari kalangan muda sebagai orang memiliki greget dan semangat yang menggebu-gebu harus tetap diapresiasi dan dihargai oleh kalangan tua NU. Begitupula sebaliknya. Tidak selayaknya, anak muda NU menyalahkan pemikiran orang tuanya (kiai), karena bertentangan dengan pemikiran dan maestream yang berkembang di anak muda NU. Melihat fenomena ini, NU harus arif dan bijaksana dalam membaca realitas yang terbantahkan tersebut. Artinya, seseorang dilahirkan bersama anak zamannya. Orang-orang tua NU bukan untuk disingkirkan dari arena politik, agama dan sebagainya, tetapi juga tidak harus menutup ruang gerak anak muda NU. Baik kalangan tua, ataupun anak muda sama-sama memiliki rasa tanggungjawab (sense of responsibility) dan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap NU. Munculnya Jaringan Islam Liberal, Islam Emasipatoris, LKiS (Jogjakarta), eLsaD (surabaya), PMII, tidak terlepas dari anak muda NU. Kedua kelompok yang sering bersembrangan inilah yang harus dipertemukan dimukatamar nanti baik pada tingkat gagasan ataupun posisi dan peran diantara keduanya. Itu yang pertama. Kedua, NU sebagai organisasi keagamaan terbesar sudah saatnya merubah paradigma dan konsep dalam sistem keagamaan. Stigma tradisionalisme yang seringkali disandingkan kepada NU, bahkan juga konservatisme, melalui muktamar ini, diharapkan mampu merubah paradigma dan aras gerak NU kedepan guna bergainging position dengan kekuatan yang ada diluar NU.[12]
Kesimpulan
Politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang multi-interpretatif itu. Pada sisi lain, hampir setiap Muslim percaya akan pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan politik. Pada saat yang sama, karena sipat Islam yang multi-interpretatif itu, tidak pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam dan politik dikaitkan secara khas, sehingga ada banyak pendapat yang berbeda – beberapa bahkan saling bertentangan – mengenai hubungan yang sesuai antara Islam dan politik.
Islam, sebagai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, melalui para pemimpinnya sepandangan bahwa negara (kekuasaan politik) amat diperlukan sebagai instrumen untuk menjamin dan melaksanakan ajaran-ajarannya dalam kehidupan kolektif. Mengutip Ibnu Taymiyah, Ahmad Syafi’i Maarif menyatakan bahwa “wilayah (organisasi politik) bagi (kehidupan kolektif) manusia merupakan keperluan agama yang terpenting. Tanpa topangannya agama tidak akan tegak dengan kukuh. Sedangkan hal ini tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa Islam adalah sebuah agama yang multi interpretatif, yang membuka kemungkinan kepada banyak penafsiran mengenainya (a polyinterpretable religion).
Islam tradisional, islam yang tetap mempertahankan budaya dalam menjalankan keagamaannya. Tradisionalisme berakar pada filsafat perenial yang hakikatnya adalah universal dan telah ada sejak dahulu kala (immemorial). Dikenalnya perennial philosophy sebagai nazhab filsafat dan mistisme serta sebagai world view adalah berkat usaha keras ketiga pelopor yang disebut-sebut sebagai “the Masters”, yakni: Rene Guenon, Ananda Commaraswamy dan Fritchof Schoun yang kemudian diinterpretasikan dan mengembangkannya hingga pengakuan ilmiyah yang sejajar dan setaraf dengan filsafat adalah Sayyed Hossein Nasr dalam karyanya Knowledge and the Sacred.[13] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tradisionalisme sebetulnya merupakan kecenderungan pemikiran baru, yang mana sosoknya belum mengkristal dan terlihat secara kongkrit
Konflik sosial keagamaan yang tidak dapat terhindarkan, termasuk konflik dalam pemikiran dan penjalanan agama islam sendiri. Fakta sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasannya pluralisme agama belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru fakta berbicara sebaliknya: pluralisme agama seringkali menjadi pemicu konflik sosial dan sentimen keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa menjelaskan. Salah satunya adalah masih kuatnya “Hambatan Teologis” di kalangan umat beragama untuk menerima kehadiran pluralisme agama sebagai hukum Tuhan. Maka, alih-alih bersikap toleran, inklusif, dan pluralis, umat beragama justru semakin mengeras kearah sikap intoleran, eksklusif dan cenderung antipluralisme. Untuk itu, agenda awal kita adalah begaimana memecahkan “hambatan teologis” dikalangan umat beragama dalam menerima kehadiran pluralisme sebagai hukum Tuhan.
Nahdhatul Ulama’ dan Jama’ah Tabligh merupakan bagian dari Gerakan yang dikategorikan sebagai gerakan Islam tradisional. Kedua gerakan ini sama-sama berafiliasi pada faham sunni ahlusunnah wal jama’ah. Namun ada beberapa perbedaan mendasar yang membedakan kedua faham ini. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa hal, diantaranya: dalam hal keterlibatan berpolitik,. NU pada awalnya selain sebagai gerakan sosial keagamaan, juga sebagai partai politik walaupaun ahirnya juga melepaskan diri dari partai politik. Namun walaupun begitu, NU tidak melarang ummatnya untuk memasuki wilayah politik. Dalam menyikapi paham keislaman ini hendaknya kita memandang fenomena yang ada dengan berbagai sudut pandang. Kurang arif kiranya kita melihat faham keislaman tradisional dari sudut pandang Islam modernis semata, atau sebaliknya. Karena jika demikian yang terlihat adalah sebuah penilaian yang tidak seimbang. Karena masing-masing gerakan keislaman yang ada mempunyai kecenderungan yang “unik”.


[1] http://eh.web.id/konflik-islam-modern-dan-islam-tradisional-di-indonesia/
[2] Anis malik Thoha. Sayyed Hossein Nasr: Mengusung TradisionalismeMembangun Pluralisme Agama. Majalah ISLAMIA tahun 1 no.3. 2004. Hal. 19.
[3] Ibid. Hal. 20
[4] Ibid. Hal 21
[5] Bagus Lorens. Kamus Filsafat. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996). Hal. 1115.
[6] Abuddin Nata,. Peta keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia. (Bandung; Rajawali, 2003) Hal. 139
[7] Ibid. hal. 141
[8] Nahdhatul Ulama’ dalam “http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama“.
[9] Nahdhatul Ulama. Op. Cit..
[10] http://www.ppp.or.id/
[12] http://www.dpp-pkb.or.id/
[13] Anis malik Thoha. Sayyed Hossein Nasr: Mengusung TradisionalismeMembangun Pluralisme Agama. Majalah ISLAMIA tahun 1 no.3. 2004. Hal. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar