Rabu, 30 Maret 2011

Pluralisme

Pluralisme
T.I.S dari berbagai sumber

KATA “plural” bermakna jamak dan beragam. Pluralisme merupakan suatu kondisi dimana segala ragam corak dan warna terhimpun dengan segala perbedaan yang ada. Kondisi perbedaan yang ada ini bukan ingin dilebur menjadi satu ragam baru melainkan justru dibiarkan untuk memperkaya dinamika ragam yang ada.
Dalam kehidupan beragama, pluralisme merupakan keyakinan bahwa kebenaran terdapat dalam berbagai agama. Tidak ada kebenaran tunggal. Para penganut paham ini mengakui dan menghargai perbedaan yang ada dan bersama-sama berupaya menjalin kerjasama.
Dalam pluralisme sikap yang penting untuk diterapkan adalah tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan namun juga keterlibatan aktif dalam kemajemukan tersebut. Keterlibatan tersebut ditunjukkan melalui sikap interaktif secara positif dalam lingkungan yang majemuk, tidak melakukan klaim kepemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, dan sikap yang terbuka terhadap perbedaan-perbedaan yang ada.
Dalam kehidupan politik, pluralisme berarti adanya perguliran/ruling dalam kekuasaan. Penyebaran kekuasaan juga berarti adanya otoritas secara luas yang terbagi dalam strukturstruktur kekuasaan diantara pejabat pemerintah, individu, dan kelompok-kelompok.
Pluralisme juga menjadi fondasi yang kokoh bagi terciptanya demokrasi. Karakteristik
pluralisme dalam demokrasi disyaratkan dengan kesempatan untuk berfikir secara bebas, adanya penghargaan terhadap kelompok-kelompok minoritas, adanya konflik dan konsensus yang dapat diatur secara damai dan menghindari kekerasan, adanya partisipasi politik, serta adanya tingkat kepercayaan dan kepatuhan yang tinggi pada konstitusi dan kebijakan-kebijakan yang demokratis.
Sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya yang luar biasa, Indonesia seringkali dijadikan ajang pemantauan bagaimana proses-proses demokrasi dapat dilangsungkan. Persentuhan ragam budaya dan agama antar kelompok masyarakatnya yang telah berlangsung sejak lama ini juga telah melahirkan ragam konflik dan konsensus yang terjadi. Demokrasi yang oleh Robert Dahl juga disyaratkan dengan terciptanya karakteristik pluralisme yang kondusif bagi sebuah negara ini mendapatkan gymnasium-nya di Indonesia. Lalu bagaimana sesungguhnya kondisi pluralisme di Indonesia?

Sebuah Pluralisme yang Malu-Malu
Indonesia  menjadi masyarakat yang plural. Tetapi masih berdiri sendiri-sendiri. Keragaman yang ada menjadi sekedar indifference satu sama lain. Pluralisme yang kemudian tercipta sekedar masyarakat yang hidup bersama-sama tetapi sesungguhnya mereka hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Kita dapat menyebutnya pluralism yang malu-malu.
Dengan pluralisme yang malu-malu ini lebih lanjut, telah menciptakan masyarakat Indonesia yang religius tetapi tidak beragama. Padahal, dengan keragaman budaya yang ada, masyarakat Indonesia seharusnya bisa lebih religius tanpa harus terlibat dalam dogma-dogma yang kaku. Karena sesungguhnya tidak ada agama yang murni di Indonesia. Semua sudah diolah dengan kultur budaya yang ada. Karenanya kemudian, agama yang sebenarnya merupakan sesuatu yang sekunder. Namun begitu kondisi ini dapat berbalik arah. Agama dapat menjadi faktor penentu ketika sentimen-sentimen menyangkut formalisasi dan puritanisasi agama dibangkitkan.
Masih kuatnya pandangan agama dan primordialisme menyangkut etnis dan kedaerahan Jelas bahwa primordial masyarakat masih berada pada tingkat yang tinggi. Identitas lokal (desa) dan agama menjadi label penting bagi keberadaan mereka. Sebuah fenomena yang bila tidak diolah dengan baik akan rawan menjadi bibit konflik dan mengancam keberadaan pluralisme di Indonesia. Konflik-konflik yang pernah terjadi di Indonesia dengan latar belakang etnis seperti yang pernah terjadi di beberapa daerah di Kalimantan dan umat beragama di Ambon merupakan beberapa contoh betapa identitas etnis dan agama masyarakat Indonesia membutuhkan manajemen konflik yang baik.

Ditingkat kultural, persoalan-persoalan tersebut menyangkut pandangan keagamaan yang bersifat dogmatis. Sementara di tingkat struktural, menyangkut peran negara yang turut campur dalam kehidupan beragama masyarakatnya.

Negara yang Ikut Menjamah Wilayah Agama

Bagi Trisno, selain persoalan kultural, problem krusial lainnya menyangkut pluralisme dan proses demokrasi di Indonesia adalah saat negara turut masuk dalam wilayah agama dan mulai menentukan mana yang disebut agama dan mana yang tidak. Masih banyak aturanaturan dalam keberagamaan yang harus mengikuti aturan-aturan yang diterapkan negara.
            Contoh  undang-undang tahun 1965 yang mengatur tentang pencegahan penodaan terhadap agama dan pengawasan terhadap aliran kepercayaan dan agama yang merugikan kelompok minoritas. Padahal, sebagai pihak yang seharusnya bersikap netral negara menjamin kebebasan warganegaranya untuk memilih agama manapun bahkan termasuk pilihan untuk tidak beragama.
Kasus lainnya menyangkut pengakuan terhadap apa yang disebut sebagai agama. Sejauh ini pemerintah baru mengakui lima agama besar plus Kong Hu Cu dan memasukkan agamaagama yang dianut masyarakat adat sebagai aliran kepercayaan. Sebagaimana kita ketahui,
banyak masyarakat adat di Indonesia memiliki agamanya sendiri. Banyak suku adat yang terpaksa harus mengganti agamanya dengan agama “resmi” yang ada agar mereka dapat memperoleh dokumen-dokumen sipil.

Selain itu, meski pemerintah juga sudah meratifikasi konvesi undang-undang anti diskriminasi namun pada prakteknya masih ada kasus-kasus diskriminasi lainnya. Hal tersebut misalnya dapat dilihat pada kasus-kasus penutupan beberapa rumah ibadah yang disebabkan keberadaan Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Mentri Agama pada tahun 1998 tentang pendirian tempat ibadah. Kantor Catatan Sipil yang masih melanggengkan pengakuan hanya terhadap agama-agama “besar” juga merupakan bentuk pembatasan terhadap hak asasi seseorang untuk bebas memilih agama yang hendak dipeluknya. Persoalan-persoalan menyangkut perkawinan beda agama ataupun pasangan penghayat kepercayaan di kantor catatan sipil setempat merupakan bukti bahwa kebijakan rasial diskriminatif masih terpelihara dengan subur dalam mekanisme birokrasi pemerintahan saat ini.
Adanya undang-undang yang bersikap diskriminatif,  meski undang-undang tentang diberlakukannya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) telah dicabut namun bentuk-bentuk diskriminasi terhadap warga Tionghoa masih ada di negeri ini. Beberapa undang-undang malah dibiarkan begitu saja dan kebijakannya terus berdampak sampai sekarang. Ester kemudian mencontohkan undang-undang tentang asimilasi dan pengambilalihan properti yang dulunya milik organisasi-organisasi etnis Tionghoa. Juga aturan-aturan yang sebetulnya untuk WNA (Warga Negara Asing) kemudian diberlakukan untuk WNI (Warga Negara Indonesia) etnis Tionghoa. Atau perlakuan diskriminatif lainnya seperti tidak masuknya orang Tionghoa dalam kategori orang yang bisa mendapatkan Kredit Usaha Kecil (KUK) karena dianggap sebagai bukan orang miskin. Padahal, ukuran kaya miskinnya seseorang tentu tidak berkait dengan etnisitas. Belum lagi aturan-aturan dalam pencatatan sipil seperti akta kelahiran,  


Sementara itu ditingkat kultural, kendala yang dihadapi menyangkut pluralisme dan proses demokratisasi di Indonesia  adalah tingkat kecurigaan masyarakat yang masih tinggi. Selain masih adanya kelompok-kelompok agama yang memandang dari sudut pandang doktrin agama dan demokrasi sebagai sesuatu yang konfliktual dan anti-tetikal.
Hal ini akan berimplikasi pada wacana keagamaan yang terus menerus diposisikan berlawanan dengan kehidupan demokrasi. Meski pada akhirnya banyak juga kelompokkelompok yang menggunakan perangkat-perangkat demokrasi untuk mencapai tujuan mereka menyebarkan dan mensosialisasikan pandangan-pandangan mereka yang bersifat eksklusif. Hal lainnya menurut Ulil, menyangkut lemahnya pengorganisasian umat. Organisasiorganisasi massa yang ada selama ini lebih terkait dengan dua hal. Pertama, politik identitas. Untuk kasus ini, banyak kelompok-kelompok masyarakat yang diorganisir lebih karena identitas keislaman mereka terancam oleh kelompok lain yang berbeda identitasnya. Kedua, masyarakat yang diorganisir berdasarkan keterikatan pada tokoh-tokoh kharismatik yang pada akhirnya organisasi-organisasi massa yang dibentuk diorganisir untuk kepentingan para tokoh-tokoh tersebut.
Sebuah kondisi yang menunjukkan bahwa kepentingan etnis dan agama tertentu masih menjadi komoditi yang laik jual bagi partai politik atau organisasi-organisasi massa tertentu.
Ironisnya, kepentingan menggunakan simbol-simbol agama dan etnis ini lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang bukan termasuk dalam kategori para aktifis yang aktif dalam upaya-upaya rekonsiliasi.  


Strategi Para Aktor Pro Demokrasi
Ada dua hal mendasar yang harus dilakukan. Pertama, secara kultural melakukan perubahan mendasar pada halhal yang menyangkut keagamaan. Dengan kata lain, merubah paradigma beragama. Hal lain yang tak kalah penting adalah merubah pola pendidikan keagamaan yang sangat formalistik menjadi lebih substantif dengan memasukkan tema-tema demokratisasi, HAM, dan citizenship dalam pengajaran keagamaan. Pada tingkat ini juga harus ada upayaupaya dari masyarakat itu sendiri untuk dapat mengorganisir diri untuk kepentingan diri mereka sendiri. Bukan untuk pemimpin atau tokoh-tokohnya. Selain perlu juga terus diupayakan menumbuhkembangkan dialog antar kelompok yang terus menerus dan pembongkaran wacana keagamaan. Perlunya sinergitas perubahan di tingkat negara dan kelompok-kelompok masyarakat, negara memang bertanggung jawab atas terciptnya kehidupan yang adil. Namun di sisi lain, keadilan itu juga harus mampu diciptakan oleh masyarakat dengan memberikan masukan dan usulan perundang-undangan dan mendesaknya agar menjadi produk hukum.
Kedua, secara struktural, harus ada penjaminan terhadap hak-hak sipil dalam setiap warga negara. Setiap warga harus diakui setara, sederajat, dihadapan hukum. Contoh nyata yang dapat dilakukan adalah dengan secara konkret mencabut segala peraturan diskriminatif dan meletakkannya di dalam politik kewarganegaraan yang setara. Perubahan secara structural ini harus dilakukan oleh negara. Namun  perubahan secara structural tidak akan berarti bila secara kultural tidak berubah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar