Rabu, 30 Maret 2011

Pemikiran Politik Islam dalam Aliran – aliran

Pemikiran Politik Islam dalam Aliran – aliran.
Oleh :T.I.S
Dari berbagai sumber untuk tugas kuliah

Fundamentalisme.
Arti Fundamentalisme
Menarik untuk diajukan sebuah pertanyaan, siapakah sebenarnya yang disebut kelompok fundemantalis itu? Untuk mengurai pengertian istilah tersebut, patut disimak pernyataan Daniel B. Stevick, “we are all talking about something which we know exists, but which no one defines”. Ternyata, kendati istilah “fundamentalisme” sering dipakai, tetapi tidak selalu menunjuk pada arti yang sama.
Salah satu penyebab perbedaan definisi itu karena peneliti berbeda pandang dalam mendekati gejala “fundamentalisme”. Ada yang hanya menekankan aspek sosial semata, sebagian lain memusatkan perhatian pada aspek politis. Ada juga yang memberikan perhatian pada aspek doktrin religiusnya. Namun yang paling umum
, gerakan fundamentalisme dihubungkan dengan dua sikap yang sangat menyolok, yakni sikap ekstremitas dan sikap puritan yang bertumpu kepada pemurnian agama.
di sini dimengerti sebagai sikap penganut agama yang hanya menekankan aspek ketaatan secara harfiah atas sejumlah prinsip keagamaan yang dianggap mendasar. Jika demikian halnya, maka fundamentalisme tidak cukup hanya diidentifikasi sebagai sikap ekstremitas suatu kelompok puritan semata, melainkan juga melanda di kalangan yang dianggap sekuler, modernis dan bahkan tradisionalis dalam memegangi prinsip keagamaannya.
Komunitas yang majemuk itu dibiasakan untuk saling menghormati dan menyadari adanya perbedaan. Pada saat negara tak mendorong komunitasnya mengakui perbedaan, maka mereka akan kesulitan menyatakan identitasnya. Dalam kebingungannya itu maka hal yang paling mungkin untuk dilakukan adalah kembali kepada identitas tradisional yang mereka miliki.
Fundamentalisme Islam
Dalam komunitas Islam, munculnya istilah fundamentalisme—yang berasal dari Barat—sering kali dikecam. Mantan Menteri Agama, Tarmizi Taher, mengatakan bahwa pemeluk Kristen Protestanlah yang pertama kali menggunakan istilah fundamentalisme. Mereka ingin kembali ke dasar ajaran agama dengan menafsirkan kitab suci secara harfiah.
Bassam Tibi, dalam buku The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder (1998) memandang fundamentalisme Islam hanya salah satu jenis dari fenomena global yang baru dalam politik dunia, di mana isunya pada masing-masing kasus lebih pada ideologi politik.
Kelompok ini berpendapat, Barat telah gagal dalam menata dunia. Karena itu, perlu diganti dengan tatanan baru berdasar interpretasi politik Islam versi mereka. Namun, selama ini, hal itu baru sebatas retorika. Mereka bisa saja merancang terorisme dan kekacauan. Tetapi, Tibi mengingatkan, sebenarnya Islam fundamentalisme itu beragam dan saling bersaing. Maka sulit membayangkan mereka bisa menciptakan tatanan baru yang komprehensif secara ekonomi, politik, dan militer.
Fundamentalisme-radikal dapat dicegah seiring tumbuhnya kedewasaan umat beragama. Kedewasaan umat beragama itu akan tumbuh jika mereka mendapat pemahaman yang memadai tentang pluralitas dan pentingnya toleransi beragama. Sikap saling menghargai dan menghormati dalam pergaulan antaragama dan antarbangsa dalam suasana yang penuh persamaan dan persaudaraan harus tumbuh dari setiap jiwa umat beragama

D. Fundamentalisme Islam dan "Universitas Jihad"
Kelompok fundamentalisme Islam atau Islamis radikal terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang bersifat nasional dan regional, yang bergerak dalam satu negara (nasional) dan beberapa negara (regional) tertentu. Kedua, kelompok yang bersifat transnasional atau supranasional yang tidak terikat kepada negara tertentu. Kelompok ini dikenal pula dengan nama neofundamentalis, neoislamis, dan jihadis. Kaum fundamentalisme Islam atau Islam radikal umumnya menganggap demokrasi sebagai sistem kufr, kafir. Berdasarkan prinsip ini, mereka semula mengharamkan mengambil dan menerapkan sistem demokrasi.
Kelompok Islamis radikal nasional dan regional adalah mereka yang berusaha mendirikan negara Islam dengan menggunakan kekerasan, termasuk menghilangkan nyawa manusia kalau perlu. Bagi kelompok ini, syarat pertama mencapai tujuan adalah menjatuhkan secara paksa penguasa suatu negara (nasional) atau beberapa negara (regional), mengambil alih kekuasaan, kemudian mendirikan negara Islam. Kelompok Islamis radikal juga menggunakan konsep takfîr, yaitu mengafirkan semua orang Islam di luar kelompok mereka dan menghalalkan darah dan harta benda mereka. Berdasarkan ajaran-ajaran tersebut, kelompok ini juga dikenal dengan nama Khawârij al-judud (neo-Khawârij).

Adapun Islamis radikal transnasional atau supranasional adalah kelompok Islamis yang lebih memusatkan perhatian dan kegiatannya dalam memerangi pemerintah yang selalu menekan dan hendak memberantas gerakan Islam di negaranya. Anggota kelompok Islamis radikal transnasional tersebar di seluruh dunia. Umumnya mereka menggunakan dua bahasa (Inggris dan Arab) dalam berkomunikasi. Mereka berasal dari berbagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Mereka direkrut dari berbagai kelompok Islamis, seperti Al Qaeda, Ikhwân al-Muslimîn, Salafi, Jamaah Tabligh, Jamaah Islamiyah, dan Jama’at-i Islami.
Islamisme dan demokrasi
Syukurlah, sejarah sedang berubah. Islam radikal dan fundamentalis yang antidemokrasi kini sebagian bergabung ke dalam poros demokratisasi. Doktrin George W Bush dan kubu neokonservatif (hawkish) di Gedung Putih yang telah lazim disebut imperialisme demokratik seakan menemukan tantangan baru dengan kemenangan islamisme dalam pemilu demokratis di dunia Islam, seperti Hamas di Palestina, Refah di Turki, dan seterusnya.
Dalam kasus Hamas, meminjam bahasa Fareed Zakaria (2006), AS menggunakan standar ganda dalam agenda "imperialisme demokratiknya": menolak atau menegasikan kemenangan kelompok islamisme yang dianggapnya hanya akan memunculkan kekuasaan para fundamentalis Islam semacam mullah ala Iran atau teokrat ala Taliban. Setidaknya fakta ini telah menimbulkan fobia Islam dan menjadi momok bagi AS/Barat dalam kasus Palestina yang masyarakatnya justru telah memilih demokrasi.
Di negara-negara Muslim kemenangan Islam politik (baca: islamisme) dalam pemilu yang demokratis sebenarnya merupakan suatu pengalaman dan perkembangan baru. Kemenangan elektoral Hamas di Palestina yang mengejutkan AS/Barat, seperti halnya kemenangan Refah di Turki dan FIS di Aljazair tempo hari, semestinya membuka mata hati AS/Barat tentang betapa signifikannya saling pengertian dan pemahaman antara para pemimpin AS/Barat dan tokoh islamisme di dunia Muslim dalam mempraktikkan demokrasi. Dalam konteks Palestina, penyusunan skenario oleh AS dan Israel untuk menggulingkan Hamas hampir pasti kontraproduktif dan meningkatkan resonansi politik anti-Barat di dunia Islam.
Kemenangan Hamas membuktikan ketidaksahihan pandangan islamolog di Barat yang mengemukakan bahwa islamisme telah mundur dan gagal memperjuangkan dan mempertahankan kekuasaan politik di wilayah Muslim.
Namun, dewasa ini sejarah berbicara lain. Pandangan para islamolog dan orientalis itu tidak selalu benar. Fakta historis memperlihatkan bahwa di Palestina Hamas memenangi pemilihan umum. Di Turki Refah masih berjaya. Di Lebanon Hizbullah terus berkembang. Di Iran dan Irak politik Syiah terus menguat. Sementara itu, di kawasan Asia Tengah (Uzbekistan, Kirgistan, Kazakhstan, dan Tajikistan) gerakan Hizbut Tahrir memperoleh dukungan rakyat dengan meyakinkan. Hizbut Tahrir berkembang di kawasan itu karena tidak ada kelompok oposisi yang efektif. Situasi ini, dimanfaatkan Hizbut Tahrir dengan memperlihatkan dirinya sebagai satu-satunya kelompok oposisi terhadap elite penguasa. Tiadanya kekuatan oposisi sekuler di Asia Tengah telah mendorong Hizbut Tahrir menjadi political vehicle yang reasonable, apalagi mereka memiliki kemampuan berorganisasi yang baik dan memperoleh sumbangan dana dari negara-negara Timur Tengah untuk mengembangkan kegiatan politiknya.
Memahami Gejala Fundamentalisme
Fundamentalisme sering mempunyai citra negatif. Peristiwa bunuh diri massal David Koresh dan pengikutnya, yang dikenal sebagai kelompok fundamentalis Kristen "Davidian Branch," pada pertengahan April lalu, hanya memperkuat citra bahwa kaum fundamentalis adalah orang-orang sesat. Di tempat kelahirannya, Amerika Serikat, fundamentalisme punya makna pejoratif seperti fanatik, anti intelektualisme, eksklusif yang sering membentuk cult yang menyimpang dari praktek keagamaan mainstream.
Mempertimbangkan perkembangan historis dan fenomena fundamentalisme Kristen, sementara orang menolak penggunaan istilah "fundamentalisme" untuk menyebut gejala keagamaan semacam di kalangan Muslim. Tapi terlepas dari keberatan-keberatan yang bisa dipahami itu, ide dasar yang terkandung dalam istilah fundamentalisme Islam ada kesamaannya dengan fundamentalisme Kristen; yakni kembali kepada "fundamentals" (dasar-dasar) agama secara "penuh" dan "literal", bebas dari kompromi, penjinakan, dan reinterpretasi.
Dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik dasar itu, maka fundamentalisme Islam bukanlah sepenuhnya gejala baru. Muhammad bin 'Abd al-Wahhab dengan kaum Wahhabiyyah bisa dikatakan sebagai gerakan fundamentalisme Islam pertama yang berdampak panjang dan luas. Gerakan Wahhabi muncul sebagai reaksi terhadap kondisi internal umat Islam sendiri; tidak disebabkan faktor-faktor luar seperti penetrasi Barat.
Banyak ahli dan pengamat menilai di masa kontemporer fundamentalisme menggejala jauh lebih kuat di kalangan kaum Muslim dibandingkan di kalangan penganut agama-agama lain. Hal ini tentu saja kontras dengan kenyataan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim, yang termasuk ke dalam Dunia Ketiga, dalam beberapa dasawarsa terakhir telah dan sedang menggenjot proses modernisasi. Modernisasi, menurut banyak sosiolog, pada gilirannya menimbulkan sekularisasi. Dengan kata lain, dalam masyarakat modern yang bersifat saintifik-industrial, kepercayaan, komitmen dan pengamalan keagamaan mengalami kemerosotan.
Teori modernisasi-sekularisasi ini nampaknya semakin kehilangan relevansinya. Harvey Cox misalnya belum lama ini dalam bukunya Religion in the Secular City: Toward a Postmodern Theology (1984) terpaksa "merevisi" teori modernisasi-sekularisasinya seperti yang dikemukakannya dalam The Secular City (1965). Sejauh menyangkut Islam, Ernest Gellner berpendapat, "menyatakan sekularisasi berlaku dalam Islam tidak hanya bisa diperdebatkan. Pandangan seperti itu jelas keliru. Islam sekarang tetap kuat seperti seabad lampau. Bahkan dalam segi-segi tertentu, semakin kuat.
Mengapa Islam begitu secularization-resistant? Menurut Gellner, hal itu disebabkan watak dasar "High Islam" --sebagai kontras "Folk Islam"-- yang luarbiasa monotheistik, nomokratik, dan pada umumnya sangat berorientasi puritanisme dan skripturalisme. Dalam beberapa dasawarsa terakhir terjadi pergeseran besar dari "Folk Islam" kepada "High Islam". Basis-basis sosial "Folk Islam" sebagian besarnya mengalami erosi, sementara "High Islam" terus semakin kuat. Seperti bisa diduga, "High Islam" menyerukan kepada pengalaman ketat Islam, sebagaimana dipraktekkan di masa-masa awal Islam. Dengan demikian, Gellner menyimpulkan, Islam yang puritan dan skripturalis kelihatannya tidak harus punah dalam kondisi modern. Dunia modern, sebaliknya malah merangsang kebangkitannya.
Dalam segi-segi tertentu orang bisa mempertanyakan keabsahan teori Gellner. Untuk kasus Indonesia, misalnya, pergeseran dari "Folk Islam" kepada "High Islam" dapat diartikan sebagai terjadinya proses "santrinisasi" kaum Muslim. Tetapi penting dicatat, tidak seluruh mereka yang mengalami proses "santrinisasi" ini kemudian menjadi fundamentalis. Bahkan bisa dikatakan, hanya sebagian kecil saja yang bisa dimasukkan ke dalam tipologi fundamentalis; karena itulah mereka disebut sebagai kelompok sempalan belaka. Wajah kaum santri yang ramah dan teduh tetap lebih dominan. Gejala seperti ini agaknya juga dominan di tempat-tempat lain di Dunia Muslim.
Poin ini penting ditegaskan. Pengamat Barat khususnya, sering keliru--apakah sengaja atau tidak--dengan mengidentikkan gejala "kebangkitan" Islam (atau tepatnya intensifikasi keagamaan) di kalangan kaum Muslim sebagai fundamentalisme Islam. Dalam kerangka inilah maka pengamat Barat secara tidak bertanggungjawab menganggap Islam sebagai "ancaman" vis-a-vis Dunia Barat. Pandangan Barat seperti itu jelas tidak hanya naif tetapi juga sangat distortif. Kajian-kajian yang lebih obyektif, adil dan jujur diperlukan berbagai pihak untuk memahami gejala fundamentalisme Islam secara lebih baik.
Fundamentalisme dimaknai sebagai pemikiran hitam putih yang tak ada ruang di antaranya. Profesor Antropologi dari Universitas York, Toronto, Kanada, Dr Judith Nagata, dalam sebuah kunjungannya ke Indonesia menyatakan, fundamentalisme-lah yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan tindak kekerasan atas kelompok lain. Mereka menganggap kelompok lain bertentangan dengan kelompoknya. Ini bisa saja hidup di benak suku bangsa atau ras tertentu juga pemeluk agama, apa pun agamanya. Maka kurang tepat jika kemudian fundamentalisme hanya disematkan kepada sebuah agama tertentu.
Menurut Judith, fundamentalisme tak hanya ada di dalam komunitas Islam, tapi juga di Kristen, Buddha, Katolik, Hindu, Yahudi, maupun Sikh. Ia mengungkapkan, fundamentalisme, khususnya fundamentalisme agama, tak hanya dipengaruhi oleh penafsiran atas teks suci saja, melainkan juga berkait kelindan dengan kebijakan pemerintah di mana sejumlah komunitas agama tersebut hidup dalam masyarakat atau negara yang begitu plural, terutama terkait dengan kemauan politik dari sebuah pemerintahan.
Judith menyontohkan bagaimana pemerintah Kanada memiliki kemauan politik yang bagus dalam hal ini. Sebagai sebuah negara yang multikultur dan multikeyakinan, pemerintah Kanada terus mendorong masyarakatnya yang plural tersebut untuk memahami komunitas yang berbeda dengan dirinya.
Ahmad S Moussali dalam buku Moderate and Radical Islamic Fundamentalism: The Quest for Modernity, Legitimacy, and the Islamic State (1999) menyebut, Islam fundamentalis sebagai manifestasi awal atas gerakan sosial masif yang mengartikulasikan agama dan aspirasi peradaban dan mempertanyakan isu-isu di seputar moralitas teknologi, distribusi ala kapitalis, legitimasi non-negara, dan paradigma non-negara bangsa. Islam fundamentalis, lebih dari sekadar gerakan lokal. Ia beraksi dan bereaksi melingkupi negara-bangsa dan tatanan dunia. Ia mempersoalkan tak hanya isu dan aspirasi yang berdimensi lokal, tetapi juga regional dan universal. Fundamentalisme itu sendiri bisa bersifat moderat dan radikal. “Bagi fundamenatlisme radikal, menjadikan tauhid sebagai pembenaran bagi pendominasian terhadap yang lain; (adapun) fundamentalisme moderat, menjadikan tauhid bukan untuk mendominasi yang lain,” tegasnya.

NEO FUNDAMENTALISME
Selama tahun 1980-an terlihat ada pergeseran Islamisme politik ke neo-fundamentalisme. Kaum militan yang sebelumnya berjuang untuk revolusi kini terlibat dalam proses reislamisasi dari bawah. Evolusi ini ditentukan oleh beberapa faktor : pertama, tunduknya, dalam Islamisme itu sendiri, tindakan yang bersifat murni politik pada reformasi moralitas; kedua, hilangnya model Iran; ketiga, ketidakberhasilan upaya-upaya teroris atau revolusioner; ketiga, dipakainya simbol-simbol Islam oleh negara, sementara negara konservatif seperti Arab Saudi mulai membiayai dan dengan demikian menguasasi jaringan Islamisme lantas berupaya mempengaruhi kegiatan dan ideologi mereka ke arah neo-fundamentalisme yang lebih konservatif.

Orientasi gerakan neo-fundamentalisme antara lain mengganti proyek ideologi revolusioner dalam mengubah masyarakat digantikan dengan rencana pemberlakuan syariat dan pembersihan moral, sementara bidang politik, ekonomi dan sosial hanya dihadapi dengan retorika. Perempuan tidak boleh ikut serta dalam politik. Hak ijtihad individu dilepas. Menghilangkan ruang bagi refleksi politik dan elitisme asketis, sehingga gerakannya terpusat pada tindakan untuk mengisi kehidupan sehari-hari dengan moralitas dan menegakkan syari’at.

Transformasi gerakan Islamis menjadi neo-fundamentalis bukan saja mengurangi orisinalitas mereka sendiri, tetapi juga model ketaqwaan yang mereka tawarkan itu lebih mengedepankan formalisme dan penampilan. Untuk tidak mengatakan kemunafikan (hypocrisy). Neofundamentalisme yang ada hanyalah Islamisme pinggiran/gembel (lumpen islamism)

Evolusi gerakan Islamis itu melahirkan tiga strategi baru yang menjadi model gerakan Islamis kontemporer. Pertama, keikutsertaannya dalam kehidupan politik resmi; kedua, keterlibatan baru di lingkup sosial, baik di tataran moral, adat-istiadat mapun perekonomian; ketiga, pembentukan kelompok-kelompok kecil, baik gerakan keagamaan yang ultrakolot (ultra orthodox religious movements) dan kelompok teroris.

Untuk menjelaskan fenomena gerakan Islamisme, Seorang pengamat,Oliver Roy juga menggunakan pendekatan sosiologis. Melalui Pendekatan ini, Roy dapat menjelaskan atau mengungkap akar-akar sosiologis munculnya gerakan Islamis, eksistensi gerakan itu dalam ranah sosial-politik dan pengaruhnya terhadap tatanan sosial baru, dan proses evolusi yang melahirkan bentuk-bentuk gerakan baru, khususnya yang terkait dengan faktor-faktor sosiologis (misalnya : perubahan struktur sosial-politik, perubahan pemahaman doktrin keagamaan dan sebagainya). Dan yang luput dari perspektif sosiologis adalah pergesekan antar kelompok gerakan Islamis yang berakibat positif dan negatif. Temuan Olivier Roy dengan perspektif sosiologis antara lain tampak dalam paparan sebagai berikut :

Gerakan Islamis berkembang selama lebih dari setengah abad, dan dimulai sekitar tahun 1940. Bila dilihat dari perspektif sosiologis, kaum Islamis adalah kelompok yang modern secara sosiologis dan berasal dari sektor-sektor masyarakat modernis. Islamisme bukanlah reaksi terhadap modernisasi masyarakat muslim, melainkan justru produk dari modernitas. Para aktivisnya jarang sekali dari golongan mullah (ulama konservatif). Mereka produk-produk muda dari sistem pendidikan modern. Kaum muda ini berasal dari keluarga-keluarga urban baru atau kelas menengah yang jatuh miskin. Mereka tidak memperoleh pendidikan-pendidikan politik di sekolah-sekolah agama, melainkan di kampus-kampus umum. Di sana mereka bersentuhan dengan kaum Marxis militan, yang konsep-konsepnya sering mereka pinjam (khususnya gagasan revolusinya) untuk dimasuki istilah-istilah Qur’ani (seperti : dakwah dan khatbah/propaganda).
Satu lagi alasan adalah faktor modernisasi yang menimbulkan budaya konsumerisme dan hedonisme di tengah-tengah kondisi sosial-ekonomi yang disparitatif. Fenomena ini menimbulkan kecemburuan di kalangan miskin kota, sehingga timbul protes dan kerusuhan. Dan di sinilah momentum kelompok Islamis untuk memposisikan diri sebagai gerakan yang mewadahi kekecewaan kaum muda atas imbas modernitas. Lalu kaum Islamis mencoba melakukan “resosialisasi” atas struktur sosial yang demikian itu dan semuanya dilakukan dengan semangat puritan. Sehingga munculah model busana dan tampilan muslim (jubah dan jenggot) sebagai bentuk “perlawanan” terhadap degradasi nilai yang begitu cepat dan nyata di kota-kota. Dan sini bisa dilihat bahwa kaum Islamis adalah produk dan aktor urban modern dipandang dari sosiologi asal mula mereka dan upaya mereka membangun ruang urban baru.

MODERN KLASIK
Setelah sekian lama dunia Islam tenggelam tertutp oleh peradaban barat (Pasca takluknya Dinasti Abbasiyah, selaku pusat pemerintahan Islam, ketangan bangsa Mongol) kemudian tersadarlah para leader Islam (sejak abad XVIII M). Bahwa pada saat itu Islam sudah tertinggal jauh dari peradaban lainnya. Dan bangkitlah mereka dengan berbagai upaya untuk menghidupkan kembali dunia pemikiran Islam. Berbeda dengan dua masa sebelumnya, para tokoh dimasa ini tidak mengemukakan kembali dasar-dasar berdirinya negara, dll. Melainkan lebih terfokus pada praktek berpolitik praktis, seperti Al-Maududi yang mengembangkan konsep Jihad (holy war) guna pengembalian keeksistensian Islam. Sekalipun konsep jihad ini mempunyai pandangan yang negative dari barat kepada pemeluknya.

Cita-cita yang luhur tersebut ditandai dengan munculnya para tokoh dan beberapa organisasi beserta pemikiran-pemikiran yang mengutamakan revivalisasi ajaran Islam, diantara tokoh-tokoh yang terkenal adalah Sayid Jamal Al-Din Al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Ali Abd Al-Raziq (1888-1966 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Sayyid Quthb (1906-1966 M). Dua nama yang disebut terakhir adalah termasuk aktifis dari organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimin, Abu Al-A’la Al-Maududi (1903-1979 M). Para tokoh dalam upaya revivalisasi ini terbagi kepada tiga corak; Sekuleristik, Moderat, Integralistik.

Diantara yang mewakili dasar pemikiran sekuleristik sebenarnya hal ini jalan sekuleristik merupakan bukan “barang” baru lagi dalam Islam, mengingat pada pembahasan sebelumnya ada pemikiran Ibnu Taimiyah (dikutip dari buku Munawir Syadzali) yang menyetujui pendapat, bahwa seorang kepala negara yang adil walaupun tidak beragama Islam itu lebih baik, daripada kepala negara muslim namun berbuat zalim adalah Ali Abd Al-Raziq. Beliau mengemukakan pada bagian kedua kesimpulan dibukunya[8] yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad itu hanya seorang utusan Tuhan dan tidak diperintah untuk mendirikan sebuah negara. Jelas, tergambar pada pernyataan Raziq diatas, Islam tidak mencampuri urusan duniawi. Raziq mengambil dalil dari pernyataan dia yaitu hadits Nabi yang berbunyi, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia Kalian”. Dalam pemikirannya pun Raziq banyak dipengaruhi dari sang guru, Muhammad Abduh. Yang akhirnya dia kembangkan sendiri menjadi pemikiran sekuler, selain itu melihat dari basic pendidikan dia pernah mengenyam pendidikan barat.

Pada perkembangannya pemikiran Raziq sangat ditentang oleh orang-orang dari golongan Islamic Oriented, yang mulanya  sangat bersemangat untuk menanamkan kembali sendi-sendi Islam pada setiap elemen kehidupan, namun ketika melihat dari pengaruh Raziq mereka menjadi takut kalau-kalau pemikiran tersebut, memiliki pengaruh yang sangat luas nantinya.

Kemudian, pada golongan Moderat yang menganggap bahwa Islam tidak sepenuhnya mencampuri urusan ketatanegaraan ialah Dr. Muhammad Husin Haikal dan Muhammad Abduh.Meskipun Islam tidak memberikan bentuk baku dalam prototype bernegara, namun memberikan asas-asas yang nantinya dipergunakan dalam bernegara. Oleh karena itu mereka memberikan keleluasaan umat Islam untuk melihat pola bernegara yang dipakai oleh Barat, tentunya dengan pemikiran yang masih satu rel dengan Islam.

Yang ketiga, tipologi yang dipakai adalah tipe integralistik, dimana Islam dan agama menyatu. Golongan ini merujuk kepada pemikiran-pemikiran klasik, juga pola pemerintahan yang dianjurkan menurut golongan ini adalah tipe pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah (negara-kota Madinah), dan juga pola pemerintahan pada masa Khulafaurrasyidin, mereka tidak menghendaki umat Islam meniru pada pola pemeritahan yang dipakai oleh Barat. Tokohnya adalah Abu Al-A’la Al-Maududi, Sayyid Quthb, dan ikhwannya, Muhammad Rasyid Ridha.. Dalam pola ini Maududi mencetuskan gagasan rakyat mempunyai otoritas dalam hal pengambilan kebijakan pada pemerintahan. Namun dibatasi oleh ketetapan yang telah dicantumkan oleh nash, meminjam dari istilah Munawwir Syadzali, tipe negara ini disebut Teodemokrasi..

Neo-Modernisme
Hingga saat ini, modernisasi yang berlangsung di Indonesia menemui jalan buntu. Masyarakat Indonesia yang notabene adalah kumpulan masyarakat majemuk yang sangat sensitive melahirkan konflik, langsung atau tidak, menuduh modernisasi atau modernisme sebagai penyebab menipisnya kesadaran toleransi dalam realitas masyarakat pluralis. Pasalnya, dalam pandangan umum, modernisme merupakan suatu sikap kebarat-baratan. Artinya, sikap yang tidak pantas dan tidak cocok bagi kultur bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan itu, Umulyadi melalui artikelnya “Agama Tanpa Sosiologi Agama” (Suarakarya, 29/02/08) mengatakan bahwa munculnya konflik-konflik social di Indonesia adalah disebabkan oleh perspektif yang digunakan umat Islam dalam melihat fenomena modernitas hanya dari satu sisi, yaitu teologis. Menurut saya, tulisan itu sangat bagus dan inspiratif. Sebab, ia menawarkan pelestarian Sosiologi Agama (SA) sebagai sebuah studi yang melihat agama dari aspek sosialnya. Dengan begitu, diharapkan (SA) mampu meminimalisasi atau meredam gejolak konflik yang kini sedang berlangsung.
Permasalahan-permasalahan konflik yang hingga saat ini belum terpecahkan, bahkan semakin bermetamorfosis ke dalam bentuk lain, merupakan konsekuensi dari derasnya arus modernitas dan kapitalisme global yang tidak mampu dibendung. Ketidakmampuan menerima atau membendung modernitas itu tidak lain dikarenakan pemahaman parsial umat Islam (sebagai mayoritas penduduk Indonesia) terhadap ajaran-ajaran islam itu sendiri. Islam—sebagai agama humanis dan dinamis—sebenarnya membawa pesan atau nilai-nilai modernitas dalam ajarannya. Hal itulah yang diyakini para pembaru islam Indonesia seperti cak Nur atau Gus Dur.
Dengan latar sosio-kultural masyarakat Indonesia yang mayoritasnya adalah muslim –tanpa mengenyampingkan eksistensi agama lain, Indonesia memiliki potensi yang besar bagi berkembangnya pluralisme dan toleransi. Memang secara religio-politik, seperti yang diungkapkan Ali Maschan Moesa dalam bukunya “Nasionalisme Kiai”, arus modernitas itu telah melahirkan tarik-ulur antara pemerintah (negara) dengan rakyat (Islam).
Di satu sisi, ada yang mengidealkan bentuk sekularistik (penyatuan agama dan negara) dalam system pemerintahan Indonesia, tetapi di lain sisi, banyak juga yang menolaknya. Kelompok sekularistik misalnya, berpandangan bahwa islam adalah agama yang membawa nilai-nilai universal dan modern. Sedangkan kelompok non-sekularistik berpendapat sebaliknya, modernitas adalah ancaman bagi keutuhan ajaran Islam.
Harus diakui, Pluralisme, sekularisme, dan modernisme adalah tiga grend isu di abad modern ini yang secara terang-terangan ditolak oleh sebagian besar muslim Indonesia. Alasannya sangat sederhana, yakni mereka menuduh tiga isme tersebut sebagai ancaman yang membahayakan Islam.
Pemahaman semacam itu memang tidak salah, tetapi lebih terjerumus pada pemahaman yang literal. Hal itu pun diakui oleh para pembaru Islam seperti Fazlur Rahman, cak Nur, Gusdur, dll. Menurut mereka Islam harus dipahami secara menyeluruh dan utuh, bukan parsial. Pemahaman terhadap al-quran dan hadis harus lah sistematis, rasional dan komprehensif. Dengan begitu, umat Islam dapat menangkap pesan-pesan moral-universal dalam ajaran-ajaran Islam. Pandangan semacam itulah yang kemudian disebut Neo-modernisme.
Noe-modernisme yang dimotori oleh Fazlur Rahman merupakan suatu paradigma berpikir yang lahir sebagai counter terhadap kejumudan berpikir umat Islam. Memang, lahirnya Neo-modernisme itu tidak bisa lepas dari sosio-kultural yang mengitarinya, yaitu kondisi dimana Fazlur Rahman hidup (Pakistan). Akan tetapi, di Indonesia Neo-modernisme juga berkembang. Tokoh-tokoh Neo-modernisme Indonesia diantaranya Nurcholish Madjis, Abdurrahman Wahid, dll.
Kembali pada permasalahan modernitas di Indonesia. Realitas masyarakat majemuk menjadi suatu tantangan yang sangat besar bagi perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam. Pasalnya, tumbuhnya nilai-nilai pluralitas, inklusivitas, toleransi, dan multikulturalisme (paham yang menghargai dan menghormati dalam perbedaan) dalam negara modern adalah suatu keniscayaan. Untuk itu, reformulasi dan rekonstruksi pemahaman tentang islam sangat perlu demi kemajuan umat islam itu sendiri.
Tidak dapat dihentikannya konflik-konflik social-keagamaan di Indonesia, adalah karena masyarakat Indonesia belum mampu secara mental hidup dalam perbedaan. Bangsa kita belum bisa menjadi bangsa multikultur seutuhnya. Hal itu ditandai dengan sikap-sikap intoleran yang berkembang dalam masyarakat beragama (Indonesia). misalnya, sikap eksklusif, fanatisme berlebihan, dan lain-lain. Sikap intoleran tersebut mengindikasikan bahwa umat beragama (kahususnya Islam) belum memahami ajaran-ajaran agamanya secara rasional, sistematis, dan komprehensif (baca:utuh dan menyeluruh).
Untuk itu, Neo-modernisme --yang digagas Fazlur Rahman dan dikembangkan cak Nur di Indonesia itu—patut kita apresiasi guna terwujudnya masyarakat madani atau masyarakat etika (meminjam istilah cak Nur). Dengan begitu, “demam” konflik yang melanda negeri ini dapat diminimalisasi.
Reinterpretasi dan reformulasi pemahaman islam dirasakan perlu untuk mengungkap nilai-nilai humanis, dinamis dan modernitas dalam ajaran-ajaran Islam (al-quran dan hadis). Menurut Rahman, Al-quran adalah kitab suci (kalam Allah) yang sesuai dalam segala zaman. Oleh karena itu, al-quran haruslah dipahami sesuai dengan konteks zaman yang berkembang. Akhirnya, semoga wacana kecil ini mampu menjadi solusi bagi kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar