Sabtu, 26 Maret 2011

Tan Malaka

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897 - wafat Jawa Timur, 21 Februari 1949 [1]) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.
Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Wlaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.
Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.
Tokoh ini juga adalah orang yang mendalangi terjadinya pergolakan sosial di wilayah Surakarta setelah pengumuman Proklamasi Kemerdekaan RI, yang berakibat hilangnya status Daerah Istimewa bagi bekas wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunagaran.

Riwayat

*       Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
*       Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
*       Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
*       Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
*       Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
*       Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.

Perjuangan

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjaungan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."

Madilog

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.

Pahlawan

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Tan Malaka dalam fiksi

Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat).
Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.
Beberapa judul kisah Patjar Merah:
*       Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
*       Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
*       Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
*       Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
*       Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)

Karya-karya

Tan Malaka

1897 - 1949


 
1921
SI Semarang dan Onderwijs
1925
Menuju Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia')
1926
Semangat Muda
Aksi Massa
1943
Madilog Karya Penting!
1945
Manifesto Jakarta
Politik
Rencana Ekonomi Berjuang
Muslihat
1948
Islam Dalam Tinjauan Madilog

Pandangan Hidup

Kuhandel di Kaliurang
GERPOLEK (GERilya - POLitik - EKonomi) Karya Penting!
Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya
Di masa revolusi nasional, Tan Malaka adalah sosok yang disegani. Soekarno menganggapnya sebagai guru revolusi. Hatta menyebutnya sebagai sosok yang tak mudah membungkukkan tulang punggungnya. Sebagian orang malah menyebutnya sebagai filosof Indonesia yang paling awal.
Tetapi mengapa ia tewas dibunuh oleh sebangsanya sendiri? Siapa yang berada di balik pembunuhannya?
Tan Malaka Dibunuh! adalah sebuah kisah sejarah yang ironis. Ditulis dengan gaya sastra-sejarah, buku ini mengurai tentang sosok, kiprah pergerakan, serta kematian Tan Malaka yang tragis di pinggir sungai Brantas pada Februari 1949. Karya ini juga merekam dengan detail krisis politik yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949. Sebuah kurun waktu dimana sesama kelompok revolusioner di negeri ini terlibat konflik politik dan perebutan kekuasaan yang berakhir dengan kematian dan pembunuhan.
Pada tanggal 27 Juni 1947 Kabinet Sjahrir jatuh. Sebagal ganti kabinet Sjahrir, pada tanggal 3 Juli 1947 terbentuk kabinet Amir Sjarifudin yang terdiri dari 11 orang Sayap Kiri, 7 orang dari PNI dan 8 orang dan PSII. Masywni yang semula ikut duduk dalama kabinet Sjahrir, dalam kabinet Amir ini Masyumi menolak untuk ikut duduk. Tetapi PSII sebagai aliggota Masyumi telah mengambil keputusan sendiri untuk ikut duduk dalam kabinet bersama dengan PM dan Sayap Kiri. Juga tak seorangpun dari grup Sjahrir dalam Partai Sosialis yang ikut duduk dalam kabinet
Kabinet Amir melanjutkan perundingan dengan Belanda, yang telah dirintis oleh kabinet Syahrir, dengan tetap mempertahankan kehadiran negara RI, tetap mempertahanakan pengakuan berbagal negara terhadap RI dan tetap menolak gendarmeri bersama RI-Belanda. Hal-hal ini yang menjadikan perundingan antara RI-Belanda tidak lancar dan hambatan utamanya yalah masalah gendameri bersama.
Tanggal 15 Juli van Mook mengultimatum supaya RI me narik mundur pasukannya sejauh 10 km. dari garis demarkasi. RI menolak ultimatum Belanda ini. Tanggal 21 Juli 1947 dilancarkan agresi militer terhadap Republik dengan maksud samasekali menghancurkan Republik. Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Belanda mengakhiri agresinya.
Belanda berhasil merebut daerah ekonomi yang sangat pen ting dari Republik, seperti: minyak, perkebunan, tambang, kota pelabuhan. Tak kebetulan bahwa agresi Belanda ini menggunakan kode "Operatie Product".
Setelah gencatan senjata dipulihkan kembali perundingan RI- Belanda di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara yang terdiri dan Australia, Belgia dan Amerika. Dari fihak Republik, PM Amir bertindak sebagai ketua delegasi. Sementara itu van Mook, pada tanggal 29 Agustus 1947, secara sefihak telah menggeser garis demarkasi yang sangat menguntungkan fihak Belanda dari segi perluasan daerah. Beberapa bulan kemudian (11 November 1947) akhirya Masyumi mau masuk kabinet dengan mendapat empat buah kursi.
Dari perundingan RI-Belanda, di atas kapal Amerika yang bernama Renville, pada tanggal 17 Januari 1948 telah ditandatangani Persetujuan Renville. Dalam Persetujuan Renville tercantum antara lain fasal yang menyatakan, bahwa RI harus menarik semua pasukan yang berasa di kantong-kantong yang terdapat di belakang garis demarkasi hasll 'ciptaan' van Mook dan harus dimasukkan ke daaerah Republik. PNI dan Masyumi yang semula ikut mendukung perundingan Renville dan ikut berunding sebagai anggota delegasi, menjelang penandatanganan perun- dingan menyatakan menarik diri dari delegasi dan kabinet, dan setelah penandatanganan PNI menarik dukungan terhadap persetujuan Renville. Dengan demikian kabi net Amir kehilangan dukungan dua partai besar dan pada tanggal 23 Januari 1948 kabinet Amir mengundurkan diri. Mengenai tindakan Masyumi dan PNI terhadap penandatanganan Renville Sumarsono berpendapat, bahwa oposisi yang dilakukan kedua partai itu adalah hanya suatu cara untuk mengeluarkan Sayap Kiri dan pemerintahan.
Pada tanggal 29 Januari 1948 Hatta naik panggung kekuasaan dimana ikut duduk PNI dan Masyumi, dengan Hatta sebagai PM merangkap menteri pertahanan dan Sukiman sebagai menteri dalam negeri. Program kabinet Hatta antara lain yalah: berunding dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville dan rasionalisasi.
Sampai saat diadakannya reorganisasi dan rasionalisasi (re-ra) oleh PM Hatta, di antara laskar-laskar perjuangan yang ada, maka Pesindo merupakan laskar bersenjata yang terkuat Jumlah pasukannya terbesar, disiplinnya yang paling baik dan persenjataannya terlengkap. Kesatuannya tersebar di setiap kabupaten JaTim dan JaTeng, beberapa kabupaten di JaBar dan malahan sampai ke SumUt. Kekuatan laskar bersenjata Pesindo, kalau tidak dapat dikatakan melebihi, maka paling sedikit sama dengan TRI, tentara Pemerintah.
Pada tanggal 3 Juli 1946, Tan malaka beserta orang-orangnya melakukan kup terhadap pemerintahan Sjalrrir. Kup ini dilancar kan oleh Divisi III/Sudarsono, yang berteritorium Yogyakarta. Suharto (Presiden RI sekarang), yang waktu itu komandan resimen Yogyakarta, diperintahkan oleh Presiden Sukarno, gagal. Malah Sjahrir diculik oleh golongan kup. Karena Suharto gagal dalam menangkap Tan Malaka, maka bergeraklah pasukan dari kesatuan- kesatuan Pesindo JaTim dan berhasil membebaskan Sjahrir. Dengan berhasilnya kesataan Pesindo menggagalkan kup Tan Malaka ini maka prestise Pesindo menjadi sangat tinggi di kalangan laskar bersenjata.
Dari kesatuan-kesatuan Pesindo yang ada maka kesatuan 'Divisi Surabaya' (JaTim) adalah yang terkuat. Perbandingan antara bedil dan orang adalah satu banding empat (di dalam divisi Nasution/JaBar, pada waktu itu, hanya terdapat seratus pucuk senjatal.). Dengan demikian kekuatan tempur riel (artinya; satu orang dengan satil bedil) adalah kurang lebih satu resimen (=3 batal yon = 3x800 orang) denagan Overste (letKoI) Sidik Arselan sebagai komandan. Setelah re-ra, kesatuan mi menjadi Be (Brigade) 29 dengan Overste Moliammad (Aldimad) Dablan sebagai komandan, yang belakangan menjadi tulangpunggung dalam Perlawanan Madiun.
Untuk menentukan garis barunya, Sayap Kiri pada tanggal 26 Februari 1948 mengadakan kongres di Solo. Kongres memu tuskan untuk membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Setelah kongres cabang-cabang FDR segera terbentuk di kota-kota kabupaten seluruh daerah Republik, terutama di JaTim dan Jateng. FDR beranggotakan, pada pokoknya, sama dengan keanggotaan Sayap Kiri.
Setelah terbentuknya FDR ini, dalam pidato-pidato pimpinan FDR (Amir, Maruto Darusman, Setiadjid dan yang lain-lain) di berbagai tempat, sasaran serangan hanya ditujukan kepada Masyu mi, terutama terhadap Sukirnan sebagai menteri dalam negeri. Sedangkan masalah yang diangkat adalah soal berbagai macam pajak. FDR mengandalkan kekuatannya pertama, pada kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI dan ini memang cukup besar jumlahnya dan kedua, pada kekuatan bersenjata yang dimilikinya. Kekuatan bersenjata yang diandalkan ini terutama laskar bersenjata Pesindo dan di samping itu FDR masih dapat memperhitungkan simpati-simpati sejumlah besar perwira yang mempunyai kedudukan kunci di dalam TNI (tentara resmi Pemerintah) dan TNI-Masyarakat terhadap FDR.
Denga terbentuknya Sekretariat yang baru dari FDR maka tenaga Sekretariat kebanyakan diisi oleh tenaga muda, antara lain sepeuti Sudisman, Aidit, Njoto dan Lukman yang belakangan dipindab ke majalah Bintang Merah. Sebagai ilustrasi, dapat dikatakan di sini, bahwa kesatuan empat serangkai Aidit-Lukman- Njoto-Sudisman telah terbentuk sejak masa Sekretariat FDR ini. Belakangan, mereka berempat beserta sejumlah orang muda yang lain menyebut dirinya "kekuatan baru" atau "generasi baru".
Sejak Republik baru berdiri grup Tan Malaka selalu bertindak sebagai fiahak oposisi terhadap Pemerintah, di samping sebagai grup anti-Komunis. Dalam menghadapi kabinet Hatta, grup Tan Malaka bersikap mendukung pemerintah Hatta dan bergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang didirikan pada tanggal 6 Juni 1948. Karena grup Tan Malaka mendukung kabinet Hatta, maka sebagal 'hadiah' semua tahanan kup 3 Juli, yang semuanya adalah pendukung Tan Malaka, termasuk Tan Malaka sendiri, dibebaskan oleh Hatta dengan alasan pengadilan tiada bukti.
Banyak anggota FDR yang merasa kecewa terhadap persetu juan Renville, penarikan TNI dari kantong-kantong dan di atas semuanya adalah pengunduran diri Kabinet Amir, yang dipandan merupakan Iangkah yang salah. Tetapi karena, di muka mata angggota maupun pimpinan FDR, otoritas Amir Sjanfudin sangat tinggi maka semua kesalahan bukan ditimpakan kepada Amir. Kesalahan ditimpakan kepada 'policy maker', yaitu lingkaran dalam Amir dari Dewan-Partai Partai Sosialis yang sebagian anggotanya berasal dari Politbiro CCPKI-ilegal yang dipimpin oleh Tan Ling Djie.
Dalam situasi Sayap Kiri, dan selanjutnya FDR, sedang diselimuti oleh pertentangan intern yang menyangkut masalah pokok revoIusi yang belum dapat terselesaikan dan sebagian anggota maupun pimpinan FDR terkena kekecewaan, maka pada tanggal 11 Agustus datanglah Muso.
Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok berhasil terus meng giring pasukan Chiang Kai-shek menuju ke selatan. Pasukan Vietminh, di bawah pimpinan Partai Bur Vietnam, telah setahun berhasil mempertahankan perjuangan bersenjatanya melawan agresor Perancis. Kaum gerilya Hukbalahap di Filipina, yang berpusat di Luzon Tengah, telah memperluas operasinya. Di Malaya, di samping kaum buruh melakukan pemogokan besar- besaran, pada bulan Juni 1948 Partai Komunis Malaya melancarkan pemberontakan bersenjata melawan penjajah Inggris. PK Birma yang dipimpin oleh Thakin Than Tim, menolak persetujuan perjajian Inggris-Birma yang ditandatangani oleh U Nu pada bulan Januari 1948; oleh Thakin Than Tim bersama Partainya, pemerintah U Nu disebut sebagai "alat imperialis Ingrris" dan diserukan untuk menggulingkannya; pada bulan Maret Thakin memimpin Partai melancarkan perjuangan bersenjata.
Pada bulan Februari di Kalkuta diadakan "Konferensi Pemuda Mahasiswa Asia yang beijuang untuk Kebebasan dan Kemerdekaan". Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil antara lain dan Tiongkok, Birma, Malaya, Indonesia.
Seiring dengan perkembangan gerakan revolusioner di ber bagai negeri itu, Amerika Serikat berusaha mencari tumpuan di mana-mana, termasuk di negeri-negeri Asia yang berbatasan dengan Lautan Teduh. Indonesia yang mempunyai letak strategis dan kaya alamnya dipandang oleh Amerika sebagai tempat yang masih 'kosong'. Sejak 17 Agustus 1945 Amerika melihat suatu kenyataan bahwa di Indonesia telah lahir sebuah Republik yang didukung oleh seluruh rakyat. Bukan karena kebaikan hati Amerika bilamana Amerika cenderung "merestui" lahirnya Republik ini. Sebab bilamana penjajah Belanda sampai kembali menguasai Indonesia maka, menurut Amerika, keadaan di indonesia takkan pernah tenteram. Situasi Indonesia yang demikian takkan menguntungkan "strategi sedunia" Amerika. Maka bagi Amerika akan lebih menguntungkan bilamana Indonesia menjadi negeri yang merdeka, tetapi dikuasai oleh orang yang dapat dikendalikan oleh Amerika. Beruntunglah Amerika, karena di Indonesia muncul orang yang dikehendakinya, yaitu Mohamad Hatta.
Setelab FDR berdiri dan mulai aktif, usaha pertama yalah mengadakan turne, penjelasan keliling ke daerah-daerah. Penjelas an keliling ini antara lain dilakukan oleh: Amir Sjarifiidin (Partai Sosialis), Luat Siregar (PKI), Setiajid (PBI) dan Krissubanu (Pesindo). Dalam rapat-rapat umum yang diadakan waktu penjelasan keliling ini wakil-wakil FDR menjelaskan kepada rakyat tentang politik FDR; sikap clan pembelejetan terhadap pemerintah Hatta, khususnya masalah re-ra dalam Angkatan Perang; menjawab fitnahan-fitnahan kaum reaksioner, khususnya Murba; yang memalsu dokumen FDR; dan tuntutan berdirinya Front Nasional.
Di samping penjelasan keliling sebagai kegiatan FDR, kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI juga mengadakaan aksi, a.l. tuntutan kenaikan jaminan sosial oleh anggota Sarbupri/Sobsi Delanggu/Solo.
Pada tanggal 2 Juli 1948, jam 8 malam, Sutarto, Komandan Divisi Pertempuran Panembahan Senopati (DPPS), secara pengecut ditembak dari belakang. Penembakan terhadap Sutarto dengan cara demikian ada yang menyebut "rasionalisasi dengan cara lain".
Pada bulan Mei 1948, berdasar peraturan rasionalisasi, Sutarto yang divisinya kompak dan persenjataannya cukup baik, dinayatakan non-aktif dan pasukannya diperintahkan melapor kepada Markas Besar di Yogya. Sutarto bersama komando bawah annya menentang perintah Markas Besar ini. Sikap Sutarto beserta perwiranya ini didukung oleh kekuatan Kiri di Solo beserta laskar- laskar yang menentang re-ra. Untuk menyatakan dukungannya, pada tanggal 20 Mei, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, di Solo terjadi demonstrasi protes yang besar menentang re-ra pemerintah Hatta. Demonstrasi ini juga diikuti oleh parade, sekaligus protes, oleh beberapa batalyon bersenjata lengkap dan berat dari Pesindo dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Dalam parade dan demonstrasi tersebut diserukan dukungan terhadap kelanjutan Sutarto sebagai komandan divisi dan tuntutan agar Pemerintah membatalkan re-ranya.
Pada bulan Juli di dalam Divisi IV diadakan 'reorganisasi sendiri'. Divisi IV berubah nama menjadi 'Divisi Pertempuran Panembahan Senopati' (DPPS). 'Reorganisasi sendiri' yang diadakan oleh Panembahan Senopati ini jauh dari keinginan, apalagi melegakan, Hatta dan Nasution di Yogya. Sebab: jumlah anak buah, personalia dan kedudukan komandan dan pembagian senjata di dalam DPPS adalah sama dengan di dalam Divisi Panembahan Senopati yang semula.
Setelah Sutarto tertembak, komandan DPPS dipegang oleh LeKol Suadi.
Mengenai rasionalisasi di kalangan Angkatan Bersenjata, pa- da tanggal 2 September 1948, Hatta di muka sidang BP-KNIP menyatakan antara lain bahwa: "Istimewa terhadap angkatan perang kita rasionalisasi harus dilaksanakan dengan tegas dan nyata...; "... berpedoman kepada cita-cita "satu tentara, satu komando"; "... dalam bentuk dan susunan yang efektif'; "... mengurangkan jumlah angkatan perang kita sampai kepada susunan yang rasionil". Fikiran Hatta ini tidak jatuh dari langit. Beberapa peristiwa yang dapat dicatat adalan sebagai berikut.
Pada Het Corps Algemene Politie te Batavia laporan yang sangat rahasia bertanggal 1 April 1948 dan berbunyi antara lain se bagai berikut: "Sementara itu telah diadakan pertemuan rahasia antara Graham, Sukarno dan Sukiman. Graham menyatakan, bahwa Indonesia dianggap layak untuk dimasukkan dalam pelaksanaan bantuan rencana Marshall (Marshall-plan) untuk Asia Tenggara dan agar supaya pemerintah membendung semua kegiatan Sayap Kiri".
Untuk pelaksanaan rasionalisasi di kalangan angkatan ber senjata pada tanggal 8 Mei 1948 telah diadakan rapat Dewan Siasat Militer yang dihadirj oleh Hatta bersama pimpinan Angkatan Bersenjata: Sudirman, Nasution, Latif, Subjakto dan Surjadarma.
Dalam rapat ini dibicarakan dua hal. Pertama, yang disetujui oleh semua yang hadir, TNI-Masyarakat secepat mungkin dibubarkan. Mengenai soal ini Nasution berpendapat, bahwa TNI- Masyarakat pada prinsipnya telah dibubarkan. Kedua, Hatta bersedia memberikan basis militer kepada Amerika, yang ditukar dengan senjata. RI yang belum berumur tiga tahun ini oleh Hatta telah dijual kepada Amenika.
Seiring dengan peristiwa itu John Coast, G. Hopkins dan 5 orang "diplomat" Amerika Iainnya dipindalikan dari Bangkok dan New Delhi ke ibukota RI. Pemindahan mereka ini bukan kebetulan.
Pada tanggal 21 Juli 1948 secara rahasia telah diadakan pertemuan di hotel "Huisje Hansje" Sarangan (Madiun). Pertemuan itu dihadiri oleh: Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (wakil baru Amerika, pengganti Graham, dalam Komisi Jasa-jasa Baik), Sukarno, Hatta, Sukiman (ketua Masyumi dan menteri dalam negeri), Mokhamad Rum (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto (menurut: Roger Vailland dalam buku "Borobudur"). Dalam pertemuan ini tidak hadir orang dari PNI. Dalam pertemuan Sarangan ini, yang belakangan terkenal dengan sebutan "Perundingan Sarangan", dihasilkan "Red Drive Proposals" atau usul-usul Pembasmian Kaum Merah" Setelah pertemuan Sarangan ini, atas laporan Cochran, State Department (Kementerian Luar Negeri A.S.) berpendapat bahwa posisi Hatta harus cepat diperkuat agar supaya dapat menahan perkembanaan Komunisme. Setelah pertemuan Sarangan ini pula Kepala Polisi Sukanto dikirim ke Amerika untuk mengurus bantuan. Temyata tidak tanggung-tangggng bantuan yang diterima oleh Hatta: 56 juta dollar AS dari State Department Amerika. Uang ini oleh Hatta antara lain untuk memperlengkapi pasukanan dalan Pemerintah, divisi Siliwangi. Jadi kalau Hatta di depan BP-KNIP mengajukan masalah: "Mestikah kita bangsa Indonesia, yang mem perjuangkan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro Rusia dan pro Arnerika?",. maka jawabnya yalah peristiwa- peristiwa di atas.
Dalam bulan Agustus, tanpa kehadiran Panglima Sudirman, pimpinan angkatan darat menagadakan sidang. Sidang itu mensinyalir adanya "ancaman" PKI terhadap jalan perundingan dengan Belanda, keamanan dalam negeri dan rasionalisasi. Dalam sidang itu Nasution menyatakan kesediaannya menggunakan divisi Siliwangi untuk mengancurkan pengaruh Komunis.
Dalam pidato di muka BP-KNlP mengenai rasionalisasi Hatta juga menyatakan, bahwa:"... di sinilah terdapat pemakaian tenaga yang tidak lagi produktif.."; "...angkatan perang yang jumlahnya 463.000 orang tidak dapat dibelanjai oleh negara... Rasionalisasi yang kita tuju yalah penyempurnaan dan pembangunan yang meringankan beban masyarakat beserta mengurangkan penderitaan rakyat". Alasan yang nampaknya logis dan menarik ini sebenarnya hanya dalih. Sasaran tombak reorganisasi dan rasionalisasi Hatta tetap pada pasukan yang berbau "Kiri".
Ide Hatta-Nasution mengenai re-ra dan pembentukan "tentara yang efektif" sebenarnya bertolak dari persekutaan, yang dimulai sejak berdirinya kabinet Hatta pada Januari 1948, antara politisi yang pro Amerika yang dipelopori oleh Hatta dan Masyumi di satu fihak dan para perwira "profesional" yang dipelopori oleh Nasution dan Simatupang di fihak lain. Tujuan bersama persekutuan itu yalah melaksanakan ide: mendemobiliser laskar "yang sedikit banyak dipengaruhi oleh organisasi Komunis"; menyingkirkan perwira-perwira yang "tidak dapat dipercaya"; posisi pimpinan hanya diberikan kepada "perwira-perwira profesional" dan tipe tentara mendatang yang dikehendaki yalah tipe tentara Divisi Siliwangi (yang notabene dipimpin oleh Nasution) dan Corps Polisi Militer (yang dipimpin oleh Gatot Subroto).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar